Raperda Sarana Jaringan Utilitas Terpadu Pemprov DKI Berpotensi Bertentangan dengan UU Cipta Kerja
Perda Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas berpotensi memberatkan masyarakat dan bertentangan dengan regulasi di atasnya.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ngotot untuk melakukan revisi Perda Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas.
Dalam Raperda banyak pasal-pasal yang berpotensi memberatkan masyarakat dan bertentangan dengan regulasi di atasnya.
Salah satu Pasal Raperda yang akan membebani masyarakat adalah pasal 4 point D, dimana pasal tersebut mengatur agar operator pengguna Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) diwajibkan membayar tarif pemanfaatan secara rutin setiap tahun.
Jika ini terjadi, dikhawatirkan akan berdampak pada kenaikan tarif langganan masyarakat baik itu listrik, air, gas dan internet di Jakarta.
Baca juga: Stafsus KSP Kritik SJUT di DKI Jakarta: Tak Sejalan dengan UU Cipta Kerja
Ahmad Redi, Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute mengatakan, secara umum Raperda yang tengah dibahas Pemprov DKI dan DPRD akan bertentangan dengan UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta turunannya.
Dalam Pasal 71 UU Cipta Kerja bagian Telekomunikasi Pasal 34A dijelaskan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan fasilitasi dan/atau kemudahan kepada penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi secara transparan, akuntabel, dan efisien.
"Selain itu di Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berperan serta untuk menyediakan fasilitas bersama infrastruktur pasif telekomunikasi untuk digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi secara bersama dengan biaya terjangkau," kata Ahmad dalam keterangannya, Jumat (10/2/2022).
Dalam PP 46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran sebagai aturan pelaksana UU Cipta Kerja pasal 21, kata dia disebutkan dalam Penyelenggaraan Telekomunikasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berperan serta menyediakan fasilitas untuk digunakan oleh penyelenggara Telekomunikasi secara bersama dengan biaya wajar berupa tanah, bangunan, dan/atau infrastruktur pasif Telekomunikasi.
Dalam memberikan fasilitasi dan/atau kemudahan, Pemerintah Daerah dan/atau instansi yang berwenang wajib berkoordinasi dengan Menteri.
Di PM 5/2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi juga disebutkan, Dalam hal pada suatu lokasi telah tersedia infrastruktur pasif, Penyelenggara Telekomunikasi “dapat” memanfaatkan infrastruktur pasif dimaksud sesuai dengan kebutuhan, ketersediaan kapasitas, dan kemampuan teknis infrastruktur pasif.
Selain itu tarif pemanfaatan infrastruktur pasif ditetapkan oleh penyedia infrastruktur pasif dengan harga yang wajar dan berbasis biaya.
Baca juga: DPRD DKI Ingatkan Tingginya Sewa SJUT Bisa Bikin Mahal Tarif Berlangganan Internet di Ibu Kota
Jika tarif pemanfaatan infrastruktur pasif tidak sesuai dengan ketentuan, Menteri dapat menetapkan tarif batas atas harga pemanfaatan infrastruktur pasif.
"Dari beberapa regulasi tersebut sudah nampak jelas kalau Raperda yang diusulkan Pemprov DKI ini bertentangan langsung dengan UU Cipta Kerja dan aturan turunannya," ucap Ahmad Redi yang merupakan salah satu tim perumus UU Cipta Kerja.
Meski Pemda memiliki kewenangan dalam membuat regulasi, namun menurut Redi, semua regulasi yang dibuat harus tegak lurus dengan regulasi yang lebih tinggi.
Tidak bisa Pemda membuat regulasi sesuai kehendaknya sendiri.
Apalagi di dalam UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa regulasi yang lebih rendah tingkatannya tak boleh bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi.
"Sebagai bagian dari NKRI seharusnya dalam membuat Perda, Pemda harus sesuai dengan perundang-undangan yang ada.
Suka atau tidak suka dengan segala dinamika UU Cipta Kerja, Perda harus merujuk pada regulasi yang lebih tinggi.
Mengacu UU 12 tahun 2012, secara hirarki perundang-undangan, Raperda ini akan bertentangan dengan UU diatasnya.
Harusnya Perda tak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi,"ucap Lektor Kepala di Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur Jakarta.
Jika tidak sesuai dengan aturan, menurut Raperda yang direncanakan Pemprov DKI harus dihentikan pembahasannya dan jangan sampai regulasi yang dibuat Pemda bertentangan dengan UU dan peraturan turunannya.
Kalau Pemprov DKI terus ngotot untuk membahas dan menjalankan Raperda SJUT ini, Redi memastikan Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) akan menolak revisi Perda tersebut sebab seluruh Perda dan revisi yang dilakukan, harus diharmonisasi di Kemenkumham.
"Karena bertentangan dengan beberapa UU, PP dan PM, tentu revisi Perda SJUT ini akan ditolak oleh Kemenkumham. Jangan sampai penyelenggara telekomunikasi, PLN, PDAM dan perusahaan gas melakukan judicial review ke MA Kasihan rakyat dan pelaku usaha yang terus berkonflik dengan pemerintah," kata Redi.
Seperti diketahui, program SJUT merupakan misi pemerintah DKI Jakarta untuk menjadikan ibu kota yang modern dan nyaman dengan melakukan perapihan kabel telekomunikasi.
Diharapkan tidak ada lagi kabel udara yang melintas demi penataan kota yang lebih baik dan berkualitas sehingga dapat mendukung aktifitas ekonomi, pendidikan dan sosial masyarakat.