Banyak yang Salah Persepsi, Ini 5 Perbedaan Penting Pengolahan Sampah dengan RDF dan ITF
Pembangunan fasilitas pengelolahan sampah berbasis insenarator atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di Jakarta
Editor: Hendra Gunawan
Selain itu, pengelolaan sampah itu menjadi masalah publik, lintas wilayah dan lintas kewenangan. Artinya masalah pengelolaan sampah bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah, tapi juga pemerintah pusat yang membuka lebar keran kerjasama dan bantuan pembiayaan (Perpres No. 35 Tahun 2018).
Perpres tentang "Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan" tersebut menjelaskan bahwa tipping fee tidak hanya disediakan pemerintah daerah, namun juga dibantu oleh pemerintah pusat melalui APBN. Jadi alasan bahwa tipping fee terlalu mahal rasanya tidak relevan lagi.
Sedangkan pembangunan RDF semuanya menggunakan dana APBN. Dengan efektifitas pengelolahan sampah yang minim, dana tersebut dikhawatirkan habis begitu saja. Selain itu, benarkah pelet yang dihasilkan oleh pengolahan RDF benar-benar dapat digunakan oleh pabrik semen maupun PLTU.
Akan berapa banyak lahan yang akan disediakan oleh pemerintah untuk membangun fasilitas RDF mengingat efektifitas pengelolahan yang rendah, tidak secepat penambahan sampah setiap hari di kota besar.
3. ITF tidak mengolah sampah basah, sehingga perlu ada pre-treatment seperti metode RDF?
Itu pernyataan menyesatkan dan menandakan bahwa pemangku kepentingan kurang "gaul" dan cenderung "kudet" atau kurang ‘update’.
ITF itu sudah digunakan di banyak negara dan berbagai kota besar dunia, seperti Singapura, Tokyo, serta kota-kota di Eropa dan Amerika. Tetangga terdekat kita, Singapura, sudah memiliki 5 unit ITF untuk menyelesaikan masalah sampah di negara kota tersebut. Demikian pula dengan kota-kota lainnya juga telah menggunakan ITF. Sedangkan metode RDF, belum terbukti sukses dan diadopsi di banyak kota-kota besar di dunia.
Teknologi ITF bisa mengolah segala macam sampah dengan membakar habis (lebih dari 90℅, sisanya tinggal residu). Sampah yang bisa masuk jenis sampah basah dan kering, tanpa harus dipilah terlebih dahulu. Proses dilakukan dengan pembakaran oksidatif pada suhu 850 - 1.400 derajat Celcius. Pada suhu tersebut, sampah dalam kondisi apapun akan terbakar dan hancur. Residu pasti ada dalam prosentase yang kecil (kurang dari 10℅).
Hasil pembakaran sampah di incinerator pun langsung bisa dikonversi menjadi listrik yang bisa digunakan untuk konsumsi internal (menekan biaya operasional) maupun dijual ke perusahaan lain (industri terdekat maupun PLN).
Sedangkan RDF hanya mampu mengolah sampah kurang dari 50 persen, sisanya menjadi sampah kembali. Produk yang dihasilkan bukan listrik, namun pelet. Pelet tersebut menjadi bahan baku PLTU, untuk menghasilkan listrik. Pelet yang berbahan baku dari sampah tersebut tidak dapat dikategorikan ‘lebih hijau’ dari pelet yang berbahan baku dari kayu atau kulit gabah atau sekam.
4. Pengembangan ITF membutuhkan waktu panjang dibandingkan?
Ini pertanyaan yang jawabannya relatif. Waktu panjang sebuah project (POAC : planning, organizing, actuating & controlling) tergantung pada skala proyek dan prosesnya. Jika proyek bernilai besar, kesulitan tinggi dan berdampak luas, tentu membutuhkan kerja panjang dan presisi tinggi.
Begitupun dengan proses yang melibatkan banyak stake holders (pemerintah, legislatif, mitra, investor, masyarakat, dll) pastinya panjang dan lama. Tinggal bagaimana pemerintah sebagai regulator bisa bekerja cepat, tepat, tegas dan profesional.
Waktu "generating" proyek ITF (rerata 36 bulan) dan RDF (rerata 12 bulan) tidak bisa menjadi patokan. Apalagi jika dikaitkan dengan kemampuan teknologi tersebut untuk menyelesaikan persoalan sampah yang terus bertambah di kota-kota besar. Meskipun relatif lebih lama dari RDF, fasilitas ITF dapat lebih cepat mengatasi gunungan sampah yang bertambah setiap hari di kota-kota besar.
5. Listrik produksi ITF belum tentu dibeli PLN, tak seperti RDF yang menghasilkan pelet?
Tidak ada yang bisa memaksa PLN untuk membeli listrik dari swasta, termasuk dari ITF, kecuali pertimbangan bisnis bagi PLN. Hal sama juga terjadi pada pelet hasil RDF, tidak ada kewajiban PLN untuk membeli pelet tersebut.
Bahwa saat ini sudah ada kerjasama antara PLN dengan Pemda DKI Jakarta dari ITF maupun RDF, itu sebuah kemajuan yang baik dan patut didukung. Namun patut dicatat, RDF hasil akhirnya adalah pelet, sedangkan ITF hasilnya adalah listrik, yang bersumber dari energi terbarukan.