Banyak yang Salah Persepsi, Ini 5 Perbedaan Penting Pengolahan Sampah dengan RDF dan ITF
Pembangunan fasilitas pengelolahan sampah berbasis insenarator atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di Jakarta
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pembangunan fasilitas pengelolahan sampah berbasis insenarator atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di Jakarta masih mandek.
Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan Jakarta lebih tepat membangun proyek pengolahan sampah berbasis Refuse Derived Fuel (RDF).
Pendapat tersebut dinilai tidak tepat oleh para praktisi dan ahli pengolahan sampah, seperti terlihat di berita media. Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies Ali Ahmudi Achyak yang juga doktor lulusan Universitas Indonesia dan mendalami masalah energi terbarukan dan pengolahan sampah mengatakan, banyak salah persepsi tentang ITF, begitu juga dengan RDF.
Baca juga: Pelatihan Pengelolaan Sampah Tingkatkan Kemandirian Ekonomi Masyarakat
Ali khawatir pemerintah DKI Jakarta salah membuat keputusan penting terkait sampah di Jakarta. Menurutnya, ada lima hal penting yang sering disalahpahami oleh pemerintah, kalangan pengusaha maupun masyarakat, tentang pengolahan sampah yang efektif di kota-kota besar.
Berikut ini perbedaan penting metode RDF dan ITF dalam pengolahan sampah menjadi energi terbarukan.
1. Apakah ITF atau RDF berpotensi menimbulkan pencemaran udara?
Setiap proses pembakaran (langsung/tidak langsung) di tempat terbuka maupun di tungku pembakaran/reaktor (terbuka/tertutup) pasti menghasilkan bahan pencemar udara. Apalagi yang dibakar berupa material sampah (dalam beragam bentuknya: mentah/setengah pelet/pelet utuh, dan lainnya) yang berasal dari campuran berbagai material heterogen tanpa dipilah, pastinya menghasilan aneka bahan pencemar yang dilepas ke udara, antara lain: karbon monoksida (CO), formaldehida, arsenik, dioksin, furan, bahan kimia organik yang mudah menguap (VOC), dan lain-lain.
Sampah yang dibakar baik secara langsung (Direct Combustion/DC), atau melalui incinerator (contoh: Intermediate Treatment Facilities/ITF), atau diolah menjadi pelet (contoh: Refuse Derived Fuel/RDF) untuk dibakar di tempat lain, semuanya tetap akan menghasilkan bahan pencemar udara yang berbahaya.
Bedanya, jika dibakar langsung, maka bahan berbahaya akan langsung mencemari udara, namun jika dengan incinerator (ITF) bisa dikelola dengan teknologi dan dilepas secara bertahap.
Teknologi ITF saat ini sudah dilengkapi dengan teknologi pengolah sampah modern, termasuk penanganan gas buang dan residu agar meminimalisir pencemaran lingkungan. Namun pertimbangan yang lebih utama saat ini bagi kota-kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, bukan pada aspek itu (polusi udara), namun pada efektivitas pengolahan sampah yang harus cepat dan tuntas.
Di kota-kota besar yang padat penduduk dan produksi sampahnya tinggi, seperti Jakarta (rerata 8000 ton/hari), Bekasi (rerata 1.600 ton/hari), dan kota besar lainnya membutuhkan pengolahan sampah dengan ITF ketimbang RDF agar sampah-sampah cepat habis dikonversi menjadi energi terbarukan, timbulan sampah habis, dan kota menjadi lebih bersih.
Kapasitas pengolahan sampah dengan ITF mampu mengolah hingga 2.000 ton sampah per hari, sedangkan kapasitas RDF hanya sekitar 500 ton sampah per hari.
2. ITF membutuhkan investasi dan biaya operasional yang tinggi dibanding RDF?
Semua pemanfaatan teknologi pasti membutuhkan investasi dan operasional tinggi. Apalagi teknologi canggih, bersekala massif dan berdampak besar bagi masyarakat luas, pastinya investasi dan operasional sebanding dengan hasilnya.
Persoalannya bukan pada biaya investasi dan operasionalnya, namun seberapa besar dampaknya bagi masyarakat dan lingkungan. Apalagi ini proyek pelayanan umum (bukan bisnis) yang menjadi kewajiban pemerintah kepada rakyatnya.
Baca juga: Inilah Arini Juwita Santriwati Jadi-jadian, Paras Cantik Minta Mahar Rp50 Juta, Ternyata Pria Tua
Jika berbicara investasi, sejak awal pemerintah bisa menggandeng investor (sebagai penyandang dana) dan mitra (sebagai pemilik teknologi dan manajemen profesional). Pemerintah tinggal menyediakan lahan (konsep KSO maupun BOT), dimana lahan tetap menjadi aset milik pemerintah. Bahwa ada kewajiban membayar tipping fee (jasa pengolahan sampah), itu hal biasa dalam hal apapun terkait pelayan prima bagi masyarakat.
Tinggal negosiasi dengan mitra dan investor terkait biaya inestasi, skema pembayaran yang bisa bersifat progresif (manakala produksi dan penjualan listrik bagus dan keuangan pengelola semakin positif, bisa terjadi negosiasi harga).