Reza Indragiri Sebut Kasus 4 Bocah Tewas di Jagakarsa Sebagai Pembunuhan Berencana Terhadap Anak
Kasus tewasnya 4 anak di dalam kamar terkuci pada satu rumah kontrakan di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan menarik banyak perhatian.
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus tewasnya 4 anak di dalam kamar terkuci pada satu rumah kontrakan di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (6/12/2023) menarik banyak perhatian.
Jasad keempat bocah itu ditemukan berjejer di kasur salah satu kamar.
Keempat korban diduga tewas dibunuh ayah kandungnya berinisial P.
P sendiri diketahui ditemukan di kamar mandi rumah kontrakan tersebut.
Kedua pergelangan tangannya penuh luka dan mengeluarkan darah.
Polisi juga menemukan sebilah pisau di dekat tubuh P.
Baca juga: Polisi Tingkatkan Status Kasus Temuan 4 Anak Tewas di Jagakarsa Jaksel ke Tahap Penyidikan
Kuat dugaan P hendak mengakhiri hidupnya setelah sebelumnya menghabisi empat anaknya.
P sendiri pun sebelumnya sepat dilaporkan ke Polsek Jagakarsa atas kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap istrinya, sebelum kejadian.
Menyikapi peristiwa tersebut, ahli psikologi forensik, Reza Indragiri menyebut bila peristiwa tersebut sangat ekstrim.
Sehingga, penting diketahui asal-usul pelaku bisa melakukan aksi keji tersebut.
"Karena sedemikian ekstrim, relevan untuk dicari tahu kondisi bahkan masalah mental yang mungkin dialami pelaku. Depresi, adiksi obat-obatan, dan lain-lain," kata Reza Indragiri.
Baca juga: Ayah Terduga Pembunuh 4 Anak di Jagakarsa Ngaku Nikah Siri
Ia pun menyinggung soal penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang selama ini kerap terjadi di tengah masyarakat.
Menurut Reza, polisi harusnya merespons cepat begitu menerima kabar atau laporan tentang KDRT, meskipun memang tidak mudah dalam praktiknya.
Ia mengungkapkan kasus KDRT sangat sering terjadi, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara maju.
"Misal di Amerika Serikat, laporan tentang KDRT masuk setiap 3 menit. Di Australia, 2 menit. Di Indonesia, saya tak punya datanya. Perkiraan saya, rendah, karena masyarakat menganggap KDRT sebagai masalah domestik yang tabu untuk diikutcampuri. Belum lagi jika khalayak luas mengalami krisis kepercayaan terhadap polisi," katanya.
Selain itu, kata dia, jumlah polisi juga acap kali masih disebut-sebut sebagai kendala bagi kecepatan kerja polisi khususnya dalam menyikapi kasus KDRT.
"Situasi KDRT yang berat juga bisa membahayakan jiwa petugas polisi. Padahal, saya bertanya-tanya, seberapa jauh polisi kita sudah terlatih agar bisa menangani insiden KDRT secara aman," katanya.
Namun, untuk kasus di Jagakarsa, menurut Reza sudah bukan masuk sebagai tindak KDRT.
Tapi lebih pantas disebut kasus pembunuhan berencana terhadap anak.
Sehingga, kata dia, pelakunya bila dalam kondisi sadar harus dihukum berat.
"Sebutan kejadian ini sebagai KDRT sepertinya tidak lagi memadai. Ini tepat disebut pula sebagai kasus pembunuhan berencana terhadap anak. Kalau pelakunya waras, hukum mati," katanya.
Reza mengungkapkan hal tersebut bukan bermaksud untuk mendramatisasi.
Namun, pendapatnya tersebut berangkat dari kekhawatirannya tentang tanda-tanda suicide epidemic.
"Sebagaimana yang saya sering kemukakan belakangan ini, saya was-was kita sedang berhadapan dengan tanda-tanda suicide epidemic. Dalam kasus ini, pelaku sepertinya juga mencoba bunuh diri, tapi gagal. Apa pun itu, bunuh diri sudah menjadi aksi," ucapnya.
Dengan asumsi, kata dia, ini merupakan satu kasus yang menandai suicide epidemic dan bertalian dengan KDRT, maka tidak cukup lagi penyikapan kasus per kasus.
"Butuh program berskala luas untuk mengatasi KDRT dan bunuh diri," ujarnya.
Menurut dia, perlakuan punitive berupa pemenjaraan, tidak serta-merta sebagai solusi mujarab.
"Dalam kasus KDRT dua seleb belum lama ini, yang berujung penjara bagi suami, saya mengusulkan ada perlakuan selektif berupa wajib rehabilitasi bagi pelaku. Antara lain anger management, drug intoxification," katanya.