Bentuk Perempuan Tangguh Hadapi Radikalisme dan Terorisme Melalui Logical Reasoning
Semakin meningkatnya penggunaan media sosial, ternyata dimanfaatkan secara licik oleh kelompok radikal untuk merekrut kaum hawa
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Semakin meningkatnya penggunaan media sosial, ternyata dimanfaatkan secara licik oleh kelompok radikal untuk merekrut kaum hawa. Doktrinasi pun dilakukan secara intensif dengan memanfaatkan kondisi budaya Indonesia yang cenderung patriarkis.
Mengulas pelibatan perempuan dalam aksi terorisme, Guru Besar Bidang Lektur Keagamaan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, M.A., menyayangkan fenomena mudahnya perempuan mengikuti gerakan radikal.
“Kenapa perempuan Indonesia relatif mudah terlibat radikalisme hingga terorisme? Karena kelompok radikal mengerti bahwa perempuan mudah tertarik dengan isu agama, dan hal itu dimanfaatkan dengan baik dalam proses radikalisasi,” ungkap Prof. Musdah, Rabu (6/3/2024).
Dirinya mengaku heran jika ada pihak yang menganggap perempuan itu jauh dari agama. Jika ditelisik lebih jauh, justru forum-forum pengajian di masyarakat lebih sering di isi oleh perempuan.
Maka dari itu, Prof. Musdah yang juga menjabat sebagai Anggota Dewan Penasihat Jaringan Gusdurian ini menjelaskan bahwa keberlanjutan penanggulangan radikalisme dan terorisme harus menjadikan perempuan sebagai sasaran prioritas. Sebabnya, perempuan dianggap sebagai figur terdekat dengan anak-anaknya.
Ia menambahkan jika pola perekrutan jaringan teror terhadap anak-anak dan remaja diawali dengan merekrut kaum perempuan yang berperan sebagai ibu mereka.
Selain untuk memudahkan proses doktrinasi, perempuan juga dianggap sebagai simbol keharmonisan dan kekuatan dalam suatu masyarakat.
“Karena hal tersebut, dalam suatu peperangan biasanya salah satu strategi penaklukan wilayah adalah dengan menguasai kaum perempuan dari negara sasaran. Perempuannya diperkosa supaya masyarakat atau bangsa itu menjadi ketakutan sebagai bentuk psywar (psychological warfare), dengan mengeksploitasi dan menghancurkan kelompok perempuannya,” tutur Prof. Musdah.
Lebih lanjut Prof Musdah mengungkapkan, pentingnya memperhatikan aspek edukasi dan advokasi masyarakat Indonesia, khususnya perempuan. Itu penting mengingat potensi bahaya yang begitu besar dapat terjadi jika Indonesia gagal dalam melibatkan perempuan.
“Ini semua menjadi tanggung jawab besar Pemerintah beserta instansi-instansi yang mengampu persoalan perempuan dan penanggulangan terorisme,” tukasnya.
Ia mengungkapkan, bahwa kondisi bahwa hampir seluruh kasus terorisme di Indonesia dilakukan oleh orang yang beragama Islam, sehingga seringkali disalahartikan oleh narasi bahwa Islam membawa ajaran yang keras dan ekstrem.
Faktanya, kasus terorisme juga mungkin dilakukan oleh pemeluk agama lainnya, dan hal ini biasanya memiliki keterkaitan langsung dengan kelompok masyarakat yang menjadi mayoritas di suatu negara.
Dalam pelibatan perempuan untuk mengedukasi mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam, Prof. Musdah juga menyoroti sasaran dari dakwah Islam itu sendiri. Kalau mau menyemarakkan syiar Islam, maka seharusnya kaum perempuanyang menjadi prioritas dakwah atau kegiatan keagamaan lainnya.
“Jika para perempuan Indonesia sudah diberikan edukasi dan pemahaman keagamaan yang baik dan moderat, maka saya yakin pemahaman agama yang intoleran dan radikal tidak mudah masuk kepada mereka. Dengan begitu, perempuan tidak hanya disampaikan narasi keagamaan yang tekstual, namun diharapkan mereka juga memiliki kemampuan untuk melibatkan logical reasoning dalam beragama,” urai Prof. Musdah.