Kepala KSOP Manfaatkan Ponsel saat Rindu Keluarga, Usahakan Mudik ke Kendari Walau Cuma Satu Hari
Takwim dan keluarga memiliki komitmen bahwa ia akan menjalani tugas dan keluarga akan tetap menetap di Ternate.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Reporter WARTAKOTALIVE.COM, Rafsanzani Simanjorang
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lima bulan lalu, Muhammad Takwim dipercaya oleh Kementerian Perhubungan Republik Indonesia sebagai Kepala Kantor Kesyahbandaraan dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) utama Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Sosok ayah dari tiga orang anak ini berperan penting dalam penentuan layak atau tidaknya kapal untuk berlayar serta sejumlah layanan lain di salah satu pelabuhan terbesar di Indonesia tersebut.
Pelabuhan Tanjung Priok dapat disebut sebagai barometer pelabuhan di Indonesia sehingga menjabat sebagai kepala KSOP di tempat tersebut memiliki sejumlah tantangan.
Dari segi sistem yang masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok lebih lengkap dibanding dengan sistem di pelabuhan lain yang pernah ia tempati bertugas. Layanan pun banyak by sistem.
Baca juga: Intip Sederet Fasilitas Rest Area Tol Cikopo-Palimanan-Kanci Menjelang Arus Mudik 2024
Kemudian, koordinasi antar lembaga di Pelabuhan sudah terkoordinasi dengan baik sehingga jikalau ada hal-hal yang terjadi di lapangan maka koordinasi dengan lembaga lainnya berlangsung dengan cepat.
Sisi fasilitas pun cukup banyak.
"Namun perlu diketahui, sisi aktivitas di pelabuhan ini cukup tinggi sehingga hal-hal yang terjadi di pelabuhan serta kegiatan di luar pelabuhan bisa berdampak ke dalam."
"Contohnya sisi kemacetan lalu lintas dan di luar ada depo-depo kontainer yang butuh sentuhan dari pemerintah maupun pihak terkait agar tidak berdampak ke dalam pelabuhan serta jalan raya di luar," ujar M Takwim saat ditemui di Pelabuhan Tanjung Priok.
Ia mengatakan, isu tersebut butuh perhatian bersama.
Memasuki bulan ramadan, ia dan jajarannya ditugaskan untuk mensukseskan mudik lebaran Idul Fitri, hingga arus balik.
Ibarat kata, semakin panjang cuti untuk sipil, semakin panjang pula lamanya ia dan timnya berjaga di pelabuhan.
Artinya, ia dan jajarannya terpaksa berlebaran di tempat tugas di hari raya Idul Fitri.
"Karena ini juga sudah komitmen kami dalam bertugas. Ya dengan konsekuensi seperti ini (tidak berlebaran bersama keluarga). Dan saya sendiri sudah memberikan pemahaman kepada keluarga," ujarnya.
Baca juga: Kemenhub Tambah 10.000 Kuota Mudik Gratis Naik Bus di Angkutan Lebaran 2024
Bagi pria yang berusia 55 tahun pada Desember ini, sejak tahun 2011 ia sudah bertugas jadi kepala kantor dan jauh dari keluarga.
Mulai dari Ternate, Kendari, Jakarta, Lampung, Banjarmasin, Sorong, Balik Papan, Batam menjadi tempat-tempat yang pernah ditempatinya.
Selama bertugas, ia dan keluarga memiliki komitmen bahwa ia akan menjalani tugas dan keluarga akan tetap menetap di Ternate.
Sekadar melepas rindu dan saling silaturahmi, pria kelahiran Jailolo, Maluku Utara tahun 1969 ini pun memanfaatkan telepon genggam untuk bertegur sapa dengan keluarga di momen spesial Idul Fitri nanti.
"Saya sih sebetulnya berusaha, jika kondisi di sini tidak membeludak, maka saya bisa ambil satu hari untuk bertemu keluarga dan langsung kembali kesini. Lalu sesudah arus balik usai, baru bisa mengambil cuti beberapa hari," katanya.
Ke Ternate sendiri dapat ditempuh dengan perjalanan udara dengan waktu kurang lebih tiga jam.
Menurutnya, satu hari pun dilewati bersama dengan keluarga sangatlah bermakna. Apalagi ada sosok ibu yang paling ia rindukan.
"Rindu masakan ibu juga ya. Ada lontong, opor juga," ucapnya.
Berbicara soal karier, Tahun 1997, usai lulus dari universitas Pattimura, Ambon dengan jurusan Teknik, M Takwim mengikuti tes dan masuk ke dinas perhubungan.
Kala itu ia ditempatkan di kanwil (kantor wilayah) dan sesudah otonomi daerah, ia masuk ke perhubungan laut.
Saat itu pulalah ia memahami tupoksi dan konsekuensi tugasnya.
"Saya jujur saja, sejak kecil saya memang bercita-cita bahwa suatu saat saya akan menjadi orang yang bisa memutuskan keberangkatan suatu kapal. Menjadi orang yang punya otoritas memberangkatkan kapal," ujarnya.
Cita-cita tersebut muncul karena ia tinggal di sebuah Kecamatan Jailolo yang membutuhkan moda transportasi laut untuk menyeberang ke Ternate.
Kala itu, kapal yang memberikan layanan adalah kapal kayu dengan lama perjalanan berkisar 2 hingga hingga 2,5 jam.
Raut wajah M Takwim tiba-tiba berubah.
Ia sedih mengingat sebuah peristiwa era 84’an yang membekas di hatinya hingga saat ini.
"Ayah dan tante saya pernah mengalami kecelakaan. Tante saya meninggal, ayah saya Alhamdulillah selamat waktu itu," ujarnya.
Dengan terbata-bata, M Takwim bercerita bahwa moda transportasi laut khususnya di kampung halaman.
Sebuah kapal harus dipastikan kelayakannya sebelum diberangkatkan.
"Dari situ saya memutuskan untuk kuliah di perkapalan. Saya tidak tahu waktu itu, saya hanya berpikir ingin menjadi seoranng yang punya otoritas di perkapalan," ujarnya.
Hingga suatu saat, ia menyadari bahwa ia telah meraih impiannya untuk jadi seorang yang punya otoritas di perkapalan.
Saat ini, untuk melihat sebuah kapal layak atau tidak berlayar tak serta-merta dipatok pada regulator, melainkan kejujuran dan kemauan dari nakhoda dan kru.
M Takwim mengatakan kondisi yang terjadi di kapal selama berlayar hanya diketahui oleh nakhoda dan kru.
"Di tempat saya, khususnya di timur masih banyak pekerja kapal tidak dengan sistem gaji melainkan bagi hasil. Ini kan potensi terjadi manipulasi kondisi kapal sangat besar. Mengapa? Kalau dia jujur dengan kondisi kapalnya, maka dia tidak akan bisa beroperasi dan tidak mendapat untung dari situ," katanya.
Hal tersebut menurutnya masih ada ditemui khususnya di daerah-daerah.
Berbeda dengan kapal ukuran besar dengan sistem penggajian yang lebih jelas, diyakini jauh lebih taat dan jujur dibandingkan kapal yang menerapkan bagi hasil. (raf)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.