Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tolak RUU Cipta Kerja, Wakil Ketua MPR RI: Tidak Berpihak Buruh, Karyawan, dan Rakyat

RUU ini akan semakin mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK karena uang pesangonnya lebih kecil

Editor: Content Writer
zoom-in Tolak RUU Cipta Kerja, Wakil Ketua MPR RI: Tidak Berpihak Buruh, Karyawan, dan Rakyat
Tribunnews/JEPRIMA
Massa yang tergabung dalam berbagai aliansi buruh saat menggelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di sekitar gedung MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (16/7/2020). Pada aksi tersebut buruh bersama mahasiswa menolak omnibus law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) yang dinilai merugikan kaum buruh. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Demokrat, Syarief Hasan kembali menyampaikan penolakannya terhadap RUU Cipta Kerja (Omnibus Law). Menurutnya, Pemerintah seharusnya menyerap aspirasi masyarakat terlebih dahulu. Sebab, RUU ini ditolak oleh semua buruh dan elemen masyarakat lainnya.

Ia pun menyoroti muatan dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang tidak pro terhadap rakyat. Misalnya, hilangnya ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sebab Pasal 88C ayat (2) hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP).

Baca: Penantian Panjang COVID-19, Indonesia Akan Uji Coba Vaksin

"UMP di hampir semua Provinsi lebih kecil dibandingkan UMK-nya, kecuali di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Akibatnya, upah buruh dan menjadi semakin kecil dan tidak layak. RUU ini menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap buruh, karyawan, dan rakyat kecil," ungkap Syarief.

RUU Cipta Kerja juga membuat aturan pesangon yang kualitasnya menurun dan tanpa kepastian. Nilai pesangon bagi pekerja yang terkena PHK menurun karena pemerintah menganggap aturan yang lama tidak implementatif.

“RUU ini akan semakin mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK karena uang pesangonnya lebih kecil. Aturan baru ini malah lebih tidak implementatif dan tidak pro-rakyat,” ungkap Syarief.

Ia juga menyayangkan dihilangkannya sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan. Omnibus law menggunakan basis hukum administratif, sehingga para pengusaha yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi berupa denda.

Baca: Intip Geliat Industri Jamu di Pasar Global

"Sekarang, sanksi pidana bagi pelanggar pesangon dan PHK dihapus. Pengusaha bisa semena-mena melakukan pelanggaran karena hanya mendapatkan sanksi administratif," sesal Syarief Hasan.

Berita Rekomendasi

Selain itu, RUU ini juga akan membuat karyawan kontrak susah diangkat menjadi karyawan tetap, PHK juga akan semakin dipermudah. Serta hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.

Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Syarief Hasan memandang bahwa setiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan harus mendengarkan aspirasi rakyat dan melibatkan rakyat.

“Suara rakyat harus didengarkan karena bukankah Pemerintah bekerja untuk rakyat?” tanya Syarief Hasan.

Banyaknya penolakan dan demo yang dilakukan masyarakat menunjukkan bahwa RUU Cipta Kerja tidak pro-rakyat. “Pemerintah dan DPR RI tidak boleh memanfaatkan situasi Pandemi ini untuk mengesahkan UU yang tidak dinginkan karena merugikan rakyat,” jelas Syarief Hasan.

Baca: Industri Perhotelan Mulai Bangkit, Dibarengi Protokol Ketat

Ia juga mendesak Pemerintah bersama DPR RI untuk lebih berfokus pada program penanggulangan Pandemi Covid-19. Mengingat, angka positif Covid-19 makin meningkat dari hari ke hari sehingga tertinggi di kawasan ASEAN dan belum adanya tanda2 penurunan,sehingga menuntut fokus dan prioritas Pemerintah untuk menanggulangi Covid-19 dibandingkan membahas RUU Cipta Kerja dalam situasi genting saat ini.

“Pemerintah itu seharusnya hadir untuk selalu menyerap aspirasi dan pelayanan terbaik bagi rakyat, bukan semakin mempersulit rakyat di tengah Pandemi Covid-19,” tutup Syarief Hasan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas