Ahmad Basarah Ingatkan Krisis Kebangsaan dalam Pendidikan Nasional
Dalam rangka peringatan Hardiknas tahun 2021, Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah memiliki imbauan yang mendasar.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Tanggal 2 Mei adalah Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Bagaimanakah kita harus merefleksikan demi pembangunan bangsa terutama demi menguatkan nilai-nilai kebangsaan di tengah ancaman ideologi trans-nasional? Dalam rangka peringatan Hardiknas tahun 2021, Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah memiliki imbauan yang mendasar.
Menurutnya, peringatan Hardiknas tahun ini harus diletakkan pada konteks historis dan reflektif, mengapa tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
“Seperti kita ketahui, 2 Mei adalah hari kelahiran Bapak Pendidikan Nasional, yakni Ki Hajar Dewantara. Selain sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar merupakan tokoh kebangsaan, yang bersama dua tokoh lain; Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo kita sebut sebagai Tiga Serangkai. Tiga tokoh inilah yang mengenalkan ideologi nasionalisme di Indonesia, dan menjadi guru dari tokoh pergerakan nasionalisme seperti Bung Karno," demikian urai Ahmad Basarah yang juga Anggota Komisi Pendidikan DPR ini
Menurut Basarah, ketika Ki Hajar mendirikan Perguruan Taman Siswa pada Juli 1922, konsep dan praktik pendidikannya tidak lepas dari ideologi kebangsaan yang telah dikembangkan jauh hari. Maka Taman Siswa lalu menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi rasa cinta Tanah Air, khususnya semangat memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
“Visi dan misi inilah yang harus kita kembalikan dalam membangun pendidikan nasional kita”, demikian ujar Ketua Umum Persatuan Alumni GMNI ini.
Maka pihaknya menghimbau kepada pemangku kebijakan pendidikan agar menauladani visi Ki Hajar Dewantara dalam membangun sistem pendidikan nasional. Kontroversi terkini, yakni terkait Peraturan Pemerintah No. 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, menurutnya, harus menjadi pengingat bersama visi kebangsaan tersebut.
Ketika pendidikan Pancasila tidak dijadikan mata pelajaran dan mata kuliah wajib dari jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Hal ini menjadi tanda bahwa kita telah alpa akan visi kebangsaan dari konsep pendidikan nasional tersebut.
“Segenap stakeholder Pemerintahan mesti satu visi dan misi dengan semangat kebangsaan untuk menghidupkan kembali rasa cinta kepada ideologi negara. Menghasilkan peserta didik yang dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja memang realistis, tetapi apalah artinya jika generasi penerus bangsa kita tersebut nantinya akan meninggalkan apalagi mengkhianati nilai-nilai luhur bangsanya sendiri?" demikian ulas penerima Bintang Jasa Utama ini.
Tantangan untuk menghidupkan dan membudayakan kembali pendidikan Pancasila menjadi langkah wajib untuk membangun semangat kebangsaan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Hal ini menjadi tantangan besar sebab pendidikan kita belum mampu menghidupkan rasa kebangsaan di hati anak didik.
“Kasus teror yang dilakukan Zakiah Aini di Mabes Polri pada 31 Maret lalu harus menjadi pelajaran berharga. Sebab Zakiah merupakan mahasiswi yang terpapar ekstrimisme. Kalau kita baca surat wasiat kepada keluarganya, terlihat betapa virus ekstrimisme telah membuat Zakiah mengafirkan Pancasila, NKRI, demokrasi dan nilai-nilai kebangsaan kita. Ini harus menjadi lampu merah sebab pendidikan Pancasila yang telah diwajibkan di perguruan tinggi, ternyata tidak mampu membuat Zakiah mencintai negeri dan bangsanya sendiri," demikian tambah Basarah.
Belum lagi berbagai hasil survei yang melaporkan banyaknya geberasi muda kita yang sudah terpapar paham ideologi trans-nasional. Untuk itu pihaknya memperingatkan agar pemangku kebijakan pendidikan tidak menganggap remeh krisis kebangsaan dalam pendidikan nasional kita. Oleh karenanya, menghidupkan dan membudayakan kembali Pancasila sebagai pendidikan wajib, sifatnya mutlak dilakukan.
“Kalau kita lihat, ideologi trans-nasional ini memang menyasar ke kalangan terpelajar yang awam ilmu agama. Jika pendidikan kita tidak mampu membentenginya, maka pelan-pelan anak bangsa kita akan lebih mencintai falsafah kenegaraan bangsa lain, yang berbeda dan belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa kita sendiri," pungkas Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Malang ini. (*)