Bamsoet: Membangun Peradaban Bangsa Harus Berlandaskan Pancasila
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua MPR RI ini pada gelaran 'Kongres Kebangsaan: Ikhtiar Memperadabkan Bangsa'
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan, proses perumusan Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa Indonesia merupakan traktat kebudayaan, yang memandu bangsa Indonesia menghampiri peradaban masa depan. Bamsoet sependapat dengan pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif, bahwa Pancasila harus dijadikan tolok ukur paradigmatik untuk mengembangkan dan menguji sistem pembangunan dan ketahanan nasional Indonesia. Pancasila sebagai gatra ideologi tidak ditempatkan sejajar dengan gatra politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, pertahanan, dan keamanan. Tetapi, berdiri di atas gatra-gatra lainnya.
"Taraf pembangunan dan ketahanan nasional di berbagai gatra tersebut bisa diukur berdasarkan imperatif Pancasila dalam ranah mental-karakter, institusional-politik, serta material-teknologikal. Dengan demikian, Pancasila menjadi landasan ideologi kerja yang dapat memberikan panduan dan haluan yang memudahkan perumusan prioritas pembangunan, pencanangan program kerja, serta pilihan kebijakan dalam rangka memperkuat ketahanan nasional dalam mewujudkan cita-cita nasional," ujar Bamsoet dalam 'Kongres Kebangsaan: Ikhtiar Memperadabkan Bangsa', di Gedung Nusantara IV MPR RI, Jakarta, Kamis (28/10/21).
'Kongres Kebangsaan: Ikhtiar Memperadabkan Bangsa' diselenggarakan oleh MPR RI bekerjasama dengan Aliansi Kebangsaan dan Forum Rektor Indonesia. Didukung Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), serta Media KOMPAS.
Turut hadir Presiden Joko Widodo yang memberikan kata pembuka sambutan secara virtual, para Wakil Ketua MPR RI Syarif Hasan, Arsul Sani, dan Hidayat Nur Wahid. Hadir pula Ketua Kelompok DPD RI Tamsil Linrung, Ketua Umum Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Ketua Forum Rektor Indonesia Prof. Ir. Panut Mulyono, Ketua Umum AIPI Dr. Alfitra Salam, Pakar Aliansi Kebangsaan Yuddy Latief, Ketua Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, Rektor Universitas Hasanuddin Prof Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu, Rektor Universitas Terbuka Prof. Ojat Darojat, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr. Ma'mun Murod, serta para pendiri dan tokoh Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) antara lain Abdul Latief, Jan Darmadi, dan Maher Algadri.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, dalam perspektif Pancasila, peradaban Indonesia sebagai puncak perkembangan kebudayaan nasional merupakan kerangka operasional dalam pembangunan tiga ranah kehidupan bangsa. Pertama, ranah mental spiritual (tata nilai) yang menegaskan pentingnya penguatan visi spiritual peradaban, dan menjaga terpeliharanya etos, etika, dan mindset sebagai jiwa budaya peradaban.
"Kedua, ranah institusional-politik (tata kelola), yang mengamanatkan pentingnya pengelolaan manajerial pemerintahan dan ketepatan desain kelembagaan institusi negara, agar tidak terjadi salah urus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, ranah material-teknologikal (tata sejahtera), yang menempatkan keadilan material dan kesejahteraan umum sebagai landasan fundamental dalam membangun ketahanan dan kebajikan sosial," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, proses membangun peradaban harus dilandasi oleh kesadaran, bahwa tidak ada satupun peradaban di dunia ini, sekuat dan sehebat apapun kelihatannya, serta akan kebal terhadap potensi kerentanan yang dipicu oleh berbagai faktor. Pasca Perang Dunia II, misalnya, Uni Soviet adalah representasi negara dengan peradaban terkuat di dunia. Namun, akhirnya runtuh pada periode 1980-an hingga 1990-an. Inggris yang sempat berjaya memimpin peradaban Barat, tergeser oleh Amerika Serikat yang menguasai hegemoni global dalam waktu yang relatif lama.
"Kita pun terhenyak, ketika mendengar bahwa saat ini Amerika Serikat memiliki tanggungan hutang sebesar Rp 404 ribu triliun, yang mengancam terhentinya roda pemerintahan (government shutdown), potensi gagal bayar (default) hingga krisis finansial. Sebagai catatan, bahwa Amerika pernah mengalami penutupan pemerintahan sebanyak 20 kali sejak tahun 1976," terang Bamsoet.
Kepala Badan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menambahkan, sejarah membuktikan, bahwa jatuh bangun dan dinamika peradaban adalah suatu keniscayaan, dan selalu menjadi tantangan yang akan dihadapi oleh setiap negara. Dinamika peradaban global juga mengajarkan, bahwa konstruksi peradaban tidak dapat hanya ditopang oleh pembangunan infrastruktur, yang berupaya mengubah perilaku keberadaban manusia menyesuaikan standar modernitas zaman. Semua pihak dapat melihat puncak-puncak peradaban dunia hancur karena hanya mengandalkan aspek material semata.
"Kemampuan mempertahankan dan membangun peradaban sangat dipengaruhi oleh kemampuan setiap negara untuk belajar dari masa lalu, dan melakukan adaptasi serta inovasi untuk masa depan. Namun jauh lebih penting dari itu, adalah kemauan untuk membangun jatidiri dan karakter kebangsaan, sebagai landasan fundamental agar tidak mudah limbung oleh turbulensi peradaban. Disinilah letak dasar fundamental dari urgensi membangun peradaban dalam paradigma Pancasila," pungkas Bamsoet. (*)