Kelemahan UU Pemilu yang Baru Disahkan DPR
Mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan, mencatat sejumlah poin penting yang merupakan
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan, mencatat sejumlah poin penting yang merupakan kelemahan dari UU Pemilu yang baru disahkan DPR dalam rapat paripurna di Jakarta, Kamis (12/4/2012), kemarin.
"Dengan disahkannya UU Pemilu yang baru, perubahan dari UU No 10 tahun 2010, maka negeri ini akan bersiap hadapi pelaksanaan Pemilu tahun 2014 dengan gunakan UU tersebut sebagai dasar pelaksanaannya," kata Ferry dalam rilisnya, Jumat (13/4/2012).
Menelaah beberapa substansi pokok dari UU Pemilu yang baru, maka Ferry memberi beberapa 'Catatan Kecil' yang memerlukan cermatan untuk terwujudnya Pemilu Legislatif yang lebih baik, lebih mudah dan lebih murah.
Pertama, perubahan angka Parliamentary Treshold (PT) atau ambang batas parlemen dari 2,5% menjadi 3,5% sesungguhnya tidaklah signifikan terhadap upaya menguatkan parlemen, hal itu hanya mungkin jika angkanya sekurang2nya 5%. Kehendak untuk menaikkan angka yang serba tanggung ini kurang sesuai dengan pengaturan syarat pendirian partai yang mendorong adanya infrastruktur partai di 100% provinsi.
Karena dengan angka PT yang signifikan, akan mendorong semua partai politik melakukan penguatan keberadaannya disemua wilayah, sebagaimana pesan terhadap tingginya angka PT.
Kedua, Pengaturan jumlah kursi di Daerah Pemilihan yang tidak mengalami perubahan akan berpotensi mengulang kerumitan pengitungan suara dan konversi suara di dapil seperti pada Pemilu 2009, apalagi dengan tetap digunakannya kuota murni.
Ketiga, adalah dengan kedua catatan tersebut, maka pilihan untuk sistem Pemilu yang Proporsional Terbuka akan memberi kesan, bahwa pemilihan langsung yang memungkinkan pemilih memilih caleg terkesan menjadi sesuatu yang rumit.
Keempat, tidak munculnya pengaturan baru untuk memperbaiki kerumitan dalam pelaksanaan Pemilu 2009, tentu akan menjadi tantangan bagi KPU yang baru saja dilantik, untuk menerapkannya dalam Peraturan KPU dengan tidak melanggar UU, seperti misalnya format surat suara.
Kelima, hal yang juga cukup mencolok adalah pemberian 'tiket gratis' bagi Parpol di Parlemen untuk otomatis menjadi peserta Pemilu 2014. Padahal dari sisi substansi, pengaturan PT adalah pengaturan tentang KEBERHAKAN suatu Partai menempatkan wakilnya di Parlemen, bukan mengatur untuk ikut Pemilu berikutnya.
"Dengan pengaturan kepesrtaan yang otomatis tersebut, jelas-jelas ada yang untung 2 kali ( duduk di parlemen, kemudian ikut pemilu berikutnya) dan ada yang rugi 2 kali ( nggak boleh duduk diparlemen, tidak bisa ikut Pemilu berikutnya)," katanya.