Ironis Bila Ekspresi Keyakinan Singkirkan Kebhinekaan
Wakil Presiden Boediono mengakui negara Indonesia masih harus belajar banyak untuk mengelola perbedaan dan konflik
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Anwar Sadat Guna
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Andri Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Presiden Boediono mengakui negara Indonesia masih harus belajar banyak untuk mengelola perbedaan dan konflik antarsesama, yang tidak jarang berujung kekerasan dan pengrusakan.
Boediono mengatakan bukan hal yang baru, bila sebuah negeri dengan mudah terkoyak-koyak oleh perang saudara karena alasan kedaerahan, kesukuan, atau agama.
"20 tahun lalu kita melihat Yugoslavia pecah dan runtuh, dan menjadi sebuah tragedi yang besar, karena disertai kekejaman terhadap kaum minoritas, kaum Muslimin Bosnia," kata Boediono.
Apalagi bila diingat, di Tanah Air sendiri pertumpahan darah juga pernah terjadi antar kelompok yang berbeda suku dan agama.
"Ingat konflik di Maluku dan Kalimantan beberapa tahun yang lalu," katanya, dalam pidato, pada Peringatan Hari Pancasila di MPR, Jakarta, Jumat (1/6/2012).
Ditegaskan, bercermin pada tragedi itu semua, apa yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 bergema kembali hari ini.
Ia mengatakan, Bung Karno menyebutkan dalam perbedaan-perbedaan yang ada pada bangsa ini, perlu dicari 'modus' bersama. Dan Bung Karno menemukan bahwa modus itu ada dalam kebangsaan Indonesia.
"Hari ini modus itu telah kita dapatkan. Tetapi itu tidak cukup. Kita perlu selalu merawat dan memperkuatnya," tegasnya.
"Saya menyadari, dan saya yakin bukan hanya saya yang menyadari, bahwa ikhtiar untuk merawat dan memperkuat kebangsaan kita tidaklah mudah, bahkan setelah hampir tujuh dasawarsa kita mempunyai Pancasila," tegasnya.
Hari-hari ini, setelah bangsa ini bertahun-tahun dipaksa untuk hanya mengakui asas tunggal, bangsa ini melaksanakan dengan sungguh-sungguh satu aspek dalam demokrasi yang memberi peluang luas untuk ekspresi keyakinan yang berbeda-beda.
Tetapi sungguh ironis dan menyedihkan apabila ekspresi keyakinan itu justru ingin menyingkirkan perbedaan atau kebhinekaan yang sudah lama ada.
"Kita beruntung, dan bersyukur, bahwa para pendiri republik ini, terutama Bung Karno, telah menyumbangkan sebuah fondasi kebangsaan, yakni Pancasila," terangnya.
Fondasi itu, imbuhnya, memberikan pijakan kuat bagi bangsa ini yang berbeda-beda latar belakang untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa.
Fondasi itu sebenarnyalah penopang eksistensi bangsa. Risiko terbesar terhadap keberlanjutan eksistensi bangsa, menurut hemat saya, adalah tumbuhnya egoisme sempit.
"Oleh karena itu egoisme itulah yang harus kita tolak, egoisme agama, egoisme bangsa, egoisme etnis, egoisme suku, egoisme kekuasaan, egoisme harta. Pengalaman sejarah, dan juga kebutuhan kita untuk mengawal perjalanan bangsa ke depan, mengharuskan kita untuk melawan egoisme," ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.