Wapres: Pancasila Lahir Dari Sejarah, Bukan Tiruan
Wakil Presiden Boediono dalam pidato peringatan Hari Lahir Pancasila menegaskan pemikiran Bung Karno
Penulis: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Presiden Boediono dalam pidato peringatan Hari Lahir Pancasila menegaskan pemikiran Bung Karno, di tahun 1945 untuk kemudian dirumuskan dengan nama Pancasila, adalah pemikiran yang tidak ditiru dari buku manapun dan bukan dikarang dari awang-awang.
Pemikiran tersebut kata Boediono lahir dari pengalaman sejarah.
"Makin saya sadari bahwa pemikiran Bung Karno, yang di tahun 1945 dirumuskan dengan nama 'Pancasila', adalah pemikiran yang tidak ditiru dari buku manapun dan bukan dikarang dari awang-awang," kata Boediono di gedung MPR, Jakarta, Jumat(1/6/2012).
Boediono mengungkapkan makna terdalam ini didapatkannya kurang lebih tiga tahun yang lalu, saat berkesempatan berkunjung untuk pertama kalinya ke Ende, Flores, sebuah tempat yang ternyata amat penting dalam sejarah perjuangan nasional. Di sinilah Bung Karno diasingkan oleh pemerintah kolonial dari tahun 1934-1938.
Dalam masa pengasingan itu, Bung Karno tinggal di sebuah rumah kecil bersama Ibu Inggit.
Delapan puluh tahun yang lalu, disanalah Bung Karno sering duduk di sore hari, menghadap ke laut, merenung, membaca buku, dan menulis. Menurut para saksi, di rumah kecil dan di bawah pohon sukun itulah Bung Karno berpikir mencari jalan ke arah Indonesia yang merdeka.
Merdeka dari penjajahan, merdeka dari keterbelakangan. Indonesia yang merdeka dalam berpikir, bekerja dan bersuara.
Boediono yang hadir bersama isterinya, Herawati menyampaikan sejarah bahwa Bung Karno dan para pendahulu bangsa ini pengalaman hidup pahit di bawah kekuasaan kolonial yang menindas. Akan tetapi sejarah juga menunjukkan betapa kuatnya daya tahan rakyat Indonesia, daya tahan rakyat yang bersatu, seperti yang disaksikan Bung Karno sendiri di Flores.
Ia menyatakan di Flores, rakyat hidup rukun di dalam perbedaan daerah, bahasa dan agama. Di Flores juga Bung Karno bahkan berteman dengan rohaniawan Katolik dari Belanda yang tinggal di Ende yang, setelah bertukar pikiran dengan Bung Karno, mendukung cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Dari pengalaman itulah, tegas dia, Bung Karno semakin yakin kepada apa yang menjadi cita-citanya sejak tahun 1920-an, yang juga menjadi cita-cita semua pejuang pergerakan.
"Cita-cita yang sekarang kita warisi dan kita teruskan. Yaitu, cita-cita untuk sebuah Indonesia yang kuat, yang dijalin dari perbedaan agama, etnis, suku, dan daerah. Sebuah jalinan yang tidak didominasi oleh salah satu unsurnya. Sebuah jalinan yang dirajut bersama-sama," jelasnya.
"Sampai sekarang, Alhamdulillah, Indonesia yang seperti itu masih bertahan. Mudah-mudahan, ia tidak akan lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan. Dan terbukti pula, Indonesia yang seperti itu yang mampu mengatasi pelbagai krisis politik dan krisis ekonomi di masa lampau," lanjutnya.
Wapres juga mengatakan ketahanan bangsa ini, semua ”berkat Pancasila”. Pasalnya, setiap kali bangsa ini terancam oleh perpecahan dan permusuhan antar golongan, rakyat Indonesia selalu mengingat akan dasar bersama kehidupan berbangsa dan bertanah air itu.
"Semangat Pancasila selalu menjadi penyelamat. Tetapi itu tidak berarti kita menganggap Pancasila sebagai sesuatu yang sakral. Mensakralkan Pancasila justru akan menjauhkan Pancasila dari pengalaman hidup kita, orang-orang biasa, sehari-hari. Sebab Pancasila memang bukan wahyu yang turun dari langit." tegasnya.
Boediono tak lupa pula menekankan ketika Bung Karno merumuskannya pada tanggal 1 Juni 1945, sebenarnya Presiden Pertama RI ini merumuskan suatu keharusan yang lahir dari perkembangan sejarah.
Ditegaskan, Pidato Bung Karno hari itu adalah kearifan memahami dan menyambut keharusan sejarah itu.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.