Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Saksi Kunci Kasus Miranda Ada di Medan

Saksi kunci kasus cek pelawat bernama Suhardi alias Ferry Yen ternyata masih hidup

zoom-in Saksi Kunci Kasus Miranda Ada di Medan
TRIBUNNEWS.COM/HERUDIN
Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Suaray Goeltom usai diperiksa penyidik KPK terkait kasus suap pemilihan dirinya oleh Komisi IX DPR pada tahun 2004, Jumat (1/6/2012). Miranda yang sudah menjadi tersangka, langsung ditahan di Rutan Jakarta Timur cabang KPK. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

Laporan Wartawan Tribun Medan, Feriansyah

TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Mantan direksi dan karyawan PT First Mujur Plantation & Industry (PT FMPI) meragukan keberadaan saksi kunci kasus cek pelawat Miranda Swaray Goeltom yakni Suhardi alias Ferry Yen, sudah meninggal 2007 lalu.

"Kalau KPK serius mau ungkap donatur cek pelawat Miranda, geledah saja kantor First Mujur yang sudah berganti nama PT Barumun Agro Sentosa (BAS) di Medan. Akan ketahuan apakah memang benar ada transaksi pembelian lahan sawit seluas 5.000 hektare dari Ferry Yen itu. Di mana lahan yang dibeli itu," ujar mantan Direktur FMPI yang sudah keluar 2002 saat dihubungi Tribunnews.com.

Sumber yang meminta identitasnya tidak ditulis, mengatakan selama bekerja di FMPI, tidak pernah mendengar nama Suhardi alias Ferry Yen, yang disebut sudah meninggal 2007 lalu.

"Ahh itu hanya akal-akalan saja. Kuncinya kalau KPK serius, pasti terbongkar siapa donatur kasus cek pelawat Miranda. Kalau direksi lama dimintai keterangan secara resmi pasti nanti akan mengerucut ke Artha Graha. Karena waktu pengambilalihan, ceritanya itu dari Artha Graha, melalui PT Kharisma. Walau saya yakin PT Kharisma itu dibuat fiktif," ujarnya.

Ia mengaku siap menjelaskan asal-muasal PT FMPI saat diambil alih Teddy Uban, jika dipanggil secara resmi KPK. Sumber ini dan beberapa direksi lain serta komisaris Timbul Raya Manurung, hengkang dari FMPI, setelah PT Permata Karisma Indah (yang disebut-sebut perpanjangan tangan Tommy Winata), dan menguasai 100 persen saham perusahaan ini. Timbul Raya Manurung, mantan Komisaris PT FMPI juga mengamini keterangan mantan direksi tersebut. Timbul menyarankan KPK menelusuri asal muasal cek pelawat dari Medan.

"Terutama terkait PT FMPI, harusnya direksi lama dipanggil semua," katanya.

Berita Rekomendasi

Ia juga menyarankan KPK memeriksa Rahman Mansur, mantan karyawan FMPI yang mengurusi lahan perusahaan ini.

"Ya Pak Mansur pasti tidak tahu cerita tentang kerjasama PT FMPI dengan Ferry Yen. Karena memang tidak ada itu, kalau ada pasti Pak Mansur tahu, karena dia yang bertugas mensurvei dan mengukur kalau ada jual beli lahan. Kalau sudah bagian pengukur tanah tak tahu, pasti bagian legal dan keuangan tidak tahu," katanya.

Mansur pensiun dari FMPI pada 2011. Ia sudah 22 tahun bekerja di perkebunan yang awalnya didirikan keluarga buron illegal logging Adelin Lis. Ia sudah bekerja sejak 1989, sebelum PT Permata Karisma Indah masuk 2002. Mansur dipercaya mengurusi masalah-masalah tanah di perusahaan itu. Jika perusahaan akan membeli tanah, ia akan ditugasi melakukan survei dan mengukurnya.

Sementara itu, Juru Bicara KPK Johan Budi mengakui tim penyidik kasus cek pelawat ini masih fokus untuk menuntaskan berkas Miranda.

"Sesuai keterangan pimpinan KPK, tim masih fokus ke Miranda. Saya belum tahu apakah tim akan memeriksa kantor First Mujur yang ada di Medan," katanya.Ia mengaku belum tahu nama First Mujur sudah berubah jadi PT Barumun Agro Sentosa (BAS).

"Belum dikasih tim penyidik," kata Johan seraya meminta beberapa nomor kontak narasumber Tribun yang akan diberikan pada tim penyidik kasus ini.

Nama Suhardi alias Ferry Yen dan transaksi pembelian kebun sawit 5.000 hektare oleh FMPI pada 2004 berkali-kali diungkapkan mantan direktur perusahaan ini, Budi Santoso saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Terakhir saat bersaksi terdakwa Nunun Nurbaitie Daradjatun di Pengadilan Tipikor Jakarta, 26 Maret 2012, Budi pada awal 2004, pemilik PT FMPI Hidayat Lukman atau Teddy Uban mengadakan perjanjian kerjasama dengan Suhardi alias Ferry Yen untuk membeli kebun sawit di Tapanuli Selatan, Sumut. Total pembelian kebun itu senilai Rp 75 miliar dengan luas lahan 5.000 hektare.

Dalam kerja sama ini, saham Hidayat 80 persen dan Suhardi 20 persen atau FMPI Rp 60 miliar dan Suhardi Rp 15 miliar.
Pada 7 Juni 2004, Suhardi datang ke kantor PT FMPI untuk mengambil uangnya. Saat itu, ia ingin uang tersebut diberikan dalam berupa cek pelawat. Budi langsung memesan cek pelawat itu ke Bank Artha Graha. Tapi karena Bank Artha Graha tidak menjual cek pelawat, Bank Artha Graha pun memesan ke Bank Intenational Indonesia (BII).

Budi juga mengatakan uang pembayaran itu dilakukan melalui kredit. karena PT FMPI memiliki fasiilitas di Bank Artha Graha berupa revolving loan. Lalu cek itu diambil pada 8 Juni 2004 bersamaan dengan pelaksanaan fit and proper test pemilihan Deputi Gubenur Senior Bank Indonesia. Pada 8 Juni siang itu, Budi menyerahkan 480 cek pelawat itu ke Suhardi alias Ferry Yen. Menurut Budi, transaksi penerimaan cek pelawat itu dilakukan di kantor PT FMPI di Gedung Artha Graha lantai 27. Setelah Suhardi alias Ferry Yan menerima cek pelawat itu, ia membuat tanda terima untuk cek tersebut dan kemudian ia bawa pulang.


Berita Terkait: Kasus Travel Cheque
Sumber: Tribun Medan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas