Penasihat: Amran Lakukan Pidana Kampanye, Bukan Suap
Mantan Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu menolak dakwaan penuntut umum yang menyebut dirinya diduga kuat menerima uang Rp 3 miliar
Penulis: Y Gustaman
Editor: Anwar Sadat Guna
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu menolak dakwaan penuntut umum yang menyebut dirinya diduga kuat menerima uang Rp 3 miliar sebagai kompensasi menerbitkan surat hak guna usaha PT Hardaya Inti Plantation dan PT Cipta Cakra Murdaya milik Siti Hartati Murdaya.
Penolakan Amran langsung disampaikan penasihat hukum lewat eksepsi atau nota keberatan berjudul 'Berjuang di Tengah Pusaran Badai,' usai pembacaan dakwaan penuntut umum dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Kamis (25/10/2012).
"Uang itu seputar pemberian sumbangan dana dalam rangka pemilihan umum kepala daerah kabupaten Buol di mana terdakwa Amran Abdullah Batalipu selaku bupati incumbent mempunyai peluang maju kembali untuk menjadi Bupati Buol," ujar Idham Hayat dalam eksepsinya.
Menurut Idham, hal itu diperkuat dari Berita Acara Pemeriksaan saksi Totok Lestiyo, Arim, Saiful Mujani, bahwa memang ada pertemuan 11 Juni 2012 yang bertempat di arena PRJ Kemayoran Jakarta, adalah menindaklanjuti pertemuan 15 April 2012.
Kehadiran Saiful selaku konsultan lembaga survei, kata Idham, atas undangan dari Totok, anak buah Hartati, untuk dipertemukan dengan Amran tak lebih membahas tingkat elektabilitasnya untuk maju sebagai Bupati Buol.
Untuk mensurvei Amran, Hartati memakai jasa Saiful dari koceknya.
Namun, penasihat hukum mengakui uang Rp 3 miliar dari Hartati untuk Amran sekalipun sebagai sumbangan dana kampanye tetap menyalahi aturan dan masuk dalam tindak pidana karena melanggar Pasal 116 ayat (6) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Merujuk pada peraturan pemberian dan penerimaan dana kampanye, sumbangan perseorangan dilarang melebihi Rp 50 juta dan dari badan hukum swasta dilarang melebihi Rp 350 juta. Sementara Amran menerima Rp 3 miliar dana kampanye dari Hartati.
Karenanya, penasihat hukum berdalih bahwa Amran hanya melakukan pidana umum berupa pelanggaran pidana dalam Pemilukada Kabupaten Buol tahun 2012. Dengan begitu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat tak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.
"Pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili tindak pidana kliem kami adalah Pengadilan Tindak Pidana Pemilukada yaitu Pengadilan Negeri Kabupaten Buol," terang penasihat hukum lainnya, Amat Y Entedaim.
Katanya, uang Rp 3 miliar untuk Amran tak bisa disebut suap kepada pejabat negara. Pasalnya, saat menerima uang itu Amran sudah mengajukan cuti, berdasar diktum Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah nomor 273/374/RO.ADMPUN-G.ST/2012 pada 14 Juni 2012. Di surat dijelaskan Amran cuti dari 17-30 Juni 2012.
"Dengan demikian pada saat penyerahan dan penerimaan uang Rp 3 miliar (Rp 1 miliar 18 Juni dan Rp 2 miliar 26 Juni) oleh terdakwa saat itu bukan sebagai pegawai negeri, penyelenggara negara dan bukan juga sebagai Bupati Buol melainkan hanya kandidat calon Bupati Buol," terang Amat.
Dengan keberatan di atas, penasihat hukum meminta kepada majelis hakim dalam menjatuhkan putusan sela, untuk menerima eksepsi penasihat hukum terdakwa Amran, dan menyatakan surat dakwaan jaksa dibatalkan demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima