Komnas PA: Perilaku Menyimpang Kegagalan Sekolah
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait, meminta sekolah kembali ke rohnya, yakni sebagai lembaga pengajaran.
Penulis: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait, meminta sekolah kembali ke rohnya, yakni sebagai lembaga pengajaran.
Permintaan Arist terkait kasus dikeuarkannya M Sudirman (17) dari SMAN 7 Tangerang, lantaran sudah menikah.
Menurut Arist, pihaknya tidak membenarkan berbagai perilaku pelanggaran tata tertib yang dilakukan sembilan siswa SMP dan 13 siswa SMA. Namun, perilaku itu membuktikan kegagalan sekolah memberikan pengajaran kepada siswa.
"Perilaku menyimpang itu kegagalan sekolah, jangan dilimpahkan kepada siswa. Perilaku itu harus dipisahkan dengan hak mendapat pendidikan. Tidak ada kewenangan sedikit pun dari sekolah untuk tidak mengizinkan siswa ikut UN. Anak-anak terpidana saja yang melakukan pembunuhan, hak pendidikannya tidak hilang, dia boleh ikut ujian, walaupun di dalam lapas," tutur Arist saat Sudirman memberikan testimoni di Kantor Komnas PA, Jalan TB Simatupang, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (2/4/2013).
Menurut Arist, sekolah-sekolah yang siswanya melanggar tata tertib atau berperilaku menyimpang, seharusnya tidak melarang siswa untuk ikut ujian. Sekolah-sekolah itu, lanjut Arist, jika bertujuan menjaga nama baik sekolah, bisa menyelenggarakan UN di luar lingkungan sekolah, seperti di panti atau tempat perlindungan anak.
Karena, UN dijamin negara berdasarkan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terhadap 22 siswa ini, termasuk Sudirman, Arist menyatakan pihaknya akan berkirim surat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, untuk meminta agar 22 siswa ini tetap bisa mengikuti UN.
"Komnas PA menyurati Mendikbud soal laporan dan data ini, agar disikapi Mendikbud sebelum UN pada 15 April untuk SMA, dan 23 April untuk SMP. Karena, UN bukan kewenangan sekolah. Anak yang terjerat pidana pun boleh ikut UN, bahkan dijemput. Jika tidak direspons, kami akan ajukan judicial review dan class action, karena ini pelanggaran konstitusi," beber Arist.
Sebelum judicial review dan class action dilakukan, Arist berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menindaklanjuti laporan Komnas PA. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.