Batasan Kritik Harus Diatur dalam Pasal Penghinaan Presiden
Guru Besar UI Profesor Ronny Nitibaskara menyatakan martabat pimpinan negara selalu dilindungi undang-undang.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar UI Profesor Ronny Nitibaskara menyatakan martabat pimpinan negara selalu dilindungi undang-undang. Hal itu disampaikan Ronny yang juga anggota tim perumus KUHP dan KUHAP saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR pada hari ini, Rabu (10/4/2013).
Terkait penghinaan presiden, Ronny mengatakan bahwa negara Inggris memiliki tempat dimana warga bisa memaki siapa saja. "Di Inggris ada tempat khusus untuk memaki-maki, tapi disitu saja. Orang memaki siapa saja boleh, tapi dibatasi waktu dan tempat di situ saja," kata Ronny di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (10/4/2013).
Namun, kata Ronny, apa yang terdapat di Inggris belum tentu dapat dilakukan disini. Ronny mengungkapkan diseluruh negara tidak ada yang memperbolehkan seenaknya menghina kepala negara. "Itu yang saya kira perlu dilindungi sebagai hak asasi manusia," kata Ronny.
Diketahui, pasal penghinaan presiden masuk dalam Pasal 265 RUU KUHP. Anggota DPR asal PKS Indra sempat menyebutkan bahwa aturan tersebut seperti pasal karet. Namun, Ronny menilai pandangan pasal karet disebabkan adanya politik yang saling tarik menarik soal itu. "Harus ada kejelasan di sini (DPR), kita akademisi menyerahkannya ke DPR," imbuhnya.
Ronny mengatakan diperlukan sejumlah ahli untuk membahas pasal tersebut. Selain itu harus ada batasan yang jelas soal kritik dan saran.
"Apa yang disebut menghina atau kritik. di luar negeri dianggap menghina di sini tidak dianggap menghina dan sebaliknya," tuturnya.
Sementara Wakil Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin mengatakan isi dalam pasal penghinaan presiden tergantung kesepakatan pemerintah dan legislatif. Sebab, terdapat sejumlah pandangan di luar negeri mengenai penghinaan presiden.
"Beberapa pandangan seperti di Jepang dan Jerman, dia dapat dilakukan pemidaan panjang, apakah presiden menghendaki atau tidak, kalau di Jepang itu perdana menterinya yang menghendaki. Lalu juga, misalnya Presiden kita dihina di Jepang, itu bisa diusut disana. Ini tergantung yurisdiksi dan perjanjian internasional Indonesia dengan hubungan diplomatik di PBB," ungkapnya.