RUU Pemda Belum Menjawab Karut Marut Keuangan Daerah
Pembahasan revisi RUU Pemda yang sedang berlangsung antara Pemerintah dan DPR RI tak cukup mampu
Penulis: Y Gustaman
Editor: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan revisi RUU Pemda yang sedang berlangsung antara Pemerintah dan DPR RI tak cukup mampu menjawab karut marut keuangan daerah yang sesuai fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat.
Setidaknya Seknas FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) yang tergabung dalam Kelompok Kerja Otonomi Daerah menilai setidaknya ada empat persoalan yang belum terjawab dalam revisi undang-undang ini.
"Pertama, tidak menyelesaikan prinsip money follow function dan tumpang tindih anggaran," ujar Sekjen FITRA Yuna Farhan dalam diskusi bersama Pokja Otda tentang RUU Pemda di Jakarta Pusat, Minggu (14/4/2013).
Menurut Yunas, hal tersebut terlihat ketika pelaksanaan otda dilakukan dengan desentralisasi 16 urusan ke pemda, sementara dari sisi desentralisasi fiskal rata-rata hanya 30 persen transfer dari anggaran APBN.
Masalah kedua, RUU Pemda tidak menyelesaikan perkembangan struktur APBD. Terlihat ketika jenis dana transfer yang berasal dari APBN di luar dana perimbangan semakin banyak seperti dana insentif daerah.
Namun, dalam struktur pendapatan jenis dana transfer ini masuk ke dalam kategori lain-lain pendapatan daerah yang sah. Akibatnya, PAD yang seharusnya menjadi komponen utama pendapatan daerah justru jumlahnya semakin kecil dibandingkan lain-lain pendapatan yang sah.
"Ketiga, tidak menyelesaikan APBD yang tersandera birokrasi. Tujuan otda untuk mensejahterakan masyarakat daerah sulit tercapat karena sebagian besar APBD habis untuk belanja pegawai," terangnya.
Dalam catatan FITRA pada 2011 terdapat 298 daerah menghabiskan alokasikan APBD-nya untuk belanja pegawai. Pada 2012 tambah 302 daerah, 11 di antaranya mengalokasikan belanja pegawai 70 persen. Dan 2013, ada dua daerah yang selama tiga tahun membelanjakan 70 persen APBD untuk pegawai.
Masalah terakhir, transparansi anggaran daerah masih menjadi momok pemerintah daerah. Terbukti ketika FITRA melakukan hasil uji akses terhadap dokumen perencanaan anggaran pada 2011, pemda masih menganggap dokumen itu rahasia negara.
Padahal, UU Keterbukaan Informasi Publik sudah dilaksanakan namun APBD sebagai dokumen publik masih sulit diperoleh di banyak daerah. Ironisnya, dalam revisi RUU Pemda belum ada pasal mengatur tegas mengenai pentingnya transparansi pengelolaan anggaran.