HRWG: Tak Pernah ada Penegakan Hukum yang Tegas Kasus Intoleransi
Human Rights Working Group (HRWG) menilai pidato Presiden SBY menunjukkan bahwa dirinya menghindari
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Human Rights Working Group (HRWG) menilai pidato Presiden SBY menunjukkan bahwa dirinya menghindari permasalahan intoleransi di Indonesia dengan mengungkap sejumlah fakta intoleransi dan kekerasan yang terjadi Negara-negara lain.
Menurut M. Choirul Anam, Wakil Direktur HRWG, seakan berlindung dari maraknya kasus-kasus intoleransi di dunia, SBY menjadikan intoleransi sebagai masalah bersama. Padahal, di Indonesia SBY sendiri tidak mampu dan mau berbuat banyak untuk menghentikan praktik intoleransi dan kekerasan.
Karena itu dia sangat menyesalkan Pidato yang disampaikan Presiden yang hanya menekankan kepentingan pribadinya--dimana sama sekali tidak mengarah pada perbaikan di dalam negeri dan penyelesaian kasus-kasus intoleransi dan kekerasan berbasis agama di Indonesia. Alih-alih SBY justru menghindar dari permasalahan yang ada di Indonesia. Terutama meningkatnya praktik-praktik intoleransi dan kekerasan kepada kelompok minoritas agama dan keyakinan.
“Setiap Negara pasti menyimpan permasalahannya sendiri dalam toleransi antarumat beragama. Kekerasan dan intoleransi pasti akan terjadi di manapun. Namun, tidak adanya penegakan hukum dan ketegasan Pemerintah dalam menyelesaikan kasus intoleransi dan kekerasan adalah yang membedakan Indonesia dengan Negara lain”, demikian disampaikan oleh Choirul Anam, kepada Tribunnews.com, Jakarta, Jumat (31/5/2013).
Dia mencontohkan seperti di Turki. Pada 18 April 2007 sempat terjadi pembunuhan kepada tiga pekerja Kristen di Malatya, Turki, oleh sejumlah pemuda yang mengatasnamakan umat Islam Turki. Para pemuda ini mengeroyok dan menyiksa ketiga Kristen tersebut sampai mati. Pasca kejadian ini, Kepolisian Turki langsung menangkap 5 pemuda yang diduga kuat sebagai pelaku.
Setelah kejadian pula, Perdana Menteri, Recep Tayyib Erdogan, dan Pemerintah Turki, langsung mengecam peristiwa ini dan bertindak untuk mencegah munculnya ancaman baru yang serupa.
“Kita bisa bandingkan kasus di atas dengan apa yang telah dilakukan oleh SBY ketika terjadi penyerangan dan tindakan brutal kepada Ahmadiyah di Cikuesik, Banten. Kita juga bisa bandingkan apa yang dilakukan SBY ketika rumah dan pesantren Syiah di Sampang dibakar”, kritik Choirul Anam.
Lebih lanjut dia membantah apa yang dinyatakan SBY, bahwa “However, based on our experiences in Indonesia, enforcing the law alone is not enough. Hearts and minds have to be won”. Choirul Anam tegaskan, bahwa selama pemerintahan SBY justru penegakan hukum terhadap kasus intoleransi dan kekerasan tidak pernah ditegakkan secara adil dan serius.
Faktanya, kata dia, justru korban yang dikriminalisasi dan dijadikan tersangka, seperti di Cikuesik, Sampang dan HKBP Filadelfia Bekasi.
Selain itu, HRWG memandang bahwa rezim SBY sama sekali tidak membangun suatu langkah konkret untuk membangun budaya masyarakat yang toleran di Indonesia, baik di level pendidikan formal atau informal, di level pemerintahan atau di level aparat penegak hukum. Pun demikian, SBY tidak membersihkan perangkat Negara dari intoleransi.
Malah sebaliknya, SBY mempertahankan Bakorpakem, struktur negara yang dalam praktiknya menjadi alat intoleransi di Indonesia.
Terakhir, dia tegaskan, bahwa dirinya sangat menyesalkan bahwa dengan penghargaan oleh ACF ini SBY sama sekali tidak berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus intoleransi dan kekerasan yang terjadi di Indonesia selama ini.
"Padahal, para pengungsi Syiah di Sampang, Ahmadiyah di Lombok, GKI Yasmin dan HKBP Filadelpia, para Penghayat Kepercayaan dan korban yang lain, menunggu komitmen dan pernyataan tegas SBY untuk melindungi dan membela hak-hak korban," cetus Choirul Anam.