Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

BLSM Bisa Jadi "Madu dan Racun"

Pakar Hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin mengatakan upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meloby dukungan DPR RI

Penulis: Johnson Simanjuntak
zoom-in BLSM Bisa Jadi
TRIBUNNEWS.COM/Bian Harnansa
Sejumlah Massa dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melakukan aksi unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (12/6/2013). Tuntutan mereka adalah menolak kenaikan harga bahan Bakar Minyak (BBM). (TRIBUNNEWS.COM/Bian Harnansa) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin mengatakan upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meloby dukungan DPR RI untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, agar tidak disalahkan jika keputusan menimbulkan hal-hal yang harus dipertanggungjawabkannya sendiri sebagai pengambil kebijakan.

“Presiden terus mencari dukungan politik dari parpol¸ karena memang disadari, bahwa perbuatan hukum otonom itu sesungguhnya bisa jadi “madu” namun juga bisa jadi “racun”,” ujar Irman kepada wartawan di Jakarta, Rabu, (12/6/2013).

Menurut Irman menaikkan harga BBM dan membagikan BLSM bisa menjadi madu sekaligus racun bagi SBY.

“Madu, karena jikalau kebijakan itu kemudian terlegitimasi, kompensasi dibaliknya seperti BLSM atau BLT menjadi diterima publik sebagai suatu “kedermawanan politik”, maka akan menjadi “madu” bagi kekuatan pemerintahan itu untuk pemilu berikutnya,” katanya.

Namun, kebijakan itu juga bisa menjadi racun jikalau ternyata, kebijakan itu tak terlegitimasi, dan menimbulkan eskalasi penolakan yang besar, maka klausula pemakzulan (impeachment article) Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden bisa diberhentikan karena sebab dugaan melakukan “perbuatan tercela” atau “tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden” akan bisa menjadi “racun” yang siap mengancam kelangsungan hidup pemerintahan ini.

Menurut Doktor Hukum dari Universitas Hasanuddin ini, harus ditata bahwa penentuan harga BBM beserta kompensasinya, tidak boleh menjadi otoritas otonom Presiden yang cukup dilakukan dengan regulasi pemerintah, seperti Perpres atau lainnya, meski itu sudah mendapatkan kewenangan dari Undang-Undang.

Salah satu alasannya karena BBM itu termasuk cluster yang “dikuasai negara karena menguasai hajat hidup orang banyak dan harus untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Berita Rekomendasi

“Rakyat yang dimaksud adalah rakyat diseluruh kasta sosial, yaitu miskin, kelas menengah dan kelas atas. Penentuan harga BBM berikut kompensasinya, sebaiknya harus rakyat langsung melalui wakilnya di DPR berikut kebijakan kompensasinya. Artinya, bahwa penentuan harga BBM berikut kompensaisinya, bukan dengan reguasi pemerintah (executive rules) namun dengan aturan rakyat yaitu (legislative rules) dalam hal ini adalah undang–undang,” ujarnya.

Dengan menggunakan UU, maka hal ini tidak memiki implikasi madu-racun bagi kekuatan politik pemerintah, karena semuanya sudah disetujui DPR bukan Parpol atau kekuatan politik seperti yang dilakukan selama ini.

“Oleh karenanya kewenangan otonom Presiden untuk menentukan harga BBM berikut kompensasinya, tidak bisa dibaca sebatas kewenangan presidensial, tetap bisa juga terbaca sebagai “ranjau konstitusional” yang bisa menjadi racun bagi kelangsungan hidup presidensial dalam periode pemerintahannya,” kata Irmanputra.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas