JPU tak Pertimbangkan Fakta Hukum dari Saksi Kasus Bioremediasi
JPU dinilai tak pertimbangkan sejumlah fakta persidangan, sehingga menuntut terdakwa Kukuh Kertasafari 5 tahun penjara
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Gusti Sawabi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinilai tidak mempertimbangkan sejumlah fakta persidangan, sehingga menuntut terdakwa Kukuh Kertasafari 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta terkait dugaan korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI).
Penilaian tersebut disampaikan Penasihat Hukum terkdakwa Kukuh Kertasafari, Maqdir Ismail, kepada wartawan, Rabu (12/6/2013).
Maqdir menilai, terdapat sejumlah fakta persidangan yang dikesampingkan JPU, sehingga terkesan menghalalkan segala cara untuk membuktikan tuntutannya tersebut.
"Keterangan saksi-saksi yang menguntungkan terdakwa dibuat hampir tidak ada atau tidak tercatat dalam tuntutan JPU. JPU terkesan menghalalkan segala cara untuk membuktikan tuntutannya dan mengabaikan fakta persidangan," kata Maqdir.
Beberapa fakta persidangan yang dinilai Maqdir dikesampingkan JPU, di antaranya keterangan ahli yang diajukan kliennya dari PT CPI, bernama Dikri. Keterangan Dikri yang merupakan Ahli Bioremediasi PT CPI itu, hampir tidak menjadi pertimbangan JPU sama sekali.
Padahal, ujar Maqdir, Dikri merupakan ahli bioremediasi. Sebelum proyek bioremediasi tahun 1994 silam itu dimulai, Dikri bersama tim lainnya dari PT CPI, telah melakukan berbagai penelitian tentang bioremediasi, sebelum pemerintah mewajibkan melakukan bioremediasi alias memulihkan kembali tanah yang terkena pencemaran minyak. Bahkan, Dikri merupakan orang yang menentukan SOP bioremediasi di PT CPI.
Kemudian, lanjut Maqdir, keterangan Suarno yang merupakan ahli tanah dari Institut Pertania Bogor (IPB), juga sama sekali tidak masuk catatan tim JPU.
Meneurutnya, saat memberikan keterangan keahliannya itu, Suarno menyangkal tata cara pengambilan sampel tanah yang dilakukan oleh JPU dari area bioremediasi, karena tidak sesuai dengan ketentuan.
"Saat JPU ambil sampel, ada yang tidak disepakati. Ini terjadi karena penanganan kasus ini buruk dari awal. Bahka ada penyidik yang terlibat dari mulai penyidikan sampai penuntutan. Kalau boleh, mungkin akan jadi hakim juga. Apa gak ada yang lain di Kejaksaan?" tandas Maqdir.
Pada persidangan, Jumat (24/5/2013) lalu, seorang ahli bioremediasi bernama Sri Haryati Suhardi mengatakan, bahwa tenggat waktu 14 hari tidak dapat dijadikan ukuran keberhasilan proses bioremediasi. Penegasan ahli bioremediasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu bertolak belakang dengan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Keterangan ahli bioremediasi tersebut menyanggah dakwaan JPU yang mematok waktu 14 hari untuk menentukan berhasil tidaknya proses bioremediasi. Dalam dakwaan disebutkan, karena tidak terjadi penurunan TPH dalam 14 hari dan tidak ada mikroorganisme pendegradasi minyak, proses bioremediasi dinyatakan nihil.
"Empat belas hari bukan acuan, karena tingkat keberhasilan diizinkan hingga 8 bulan," kata Sri Haryati yang bersaksi untuk terdakwa Koordinator Tim Environmental Issues Seatlement SLS Minas PT Chevron, Kukuh Kertasafari.
Dia menjelaskan, 14 hari merupakan waktu bagi mikroba bekerja mendegradasi limbah minyak pada tanah tercemar.
Kepmen nomor 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi, juga tidak mengatur batas minimal proses bioremediasi. "Dalam prakteknya, maksimumnya 8 bulan," ujarnya.
Menurut Sri Haryati, Kepmen nomor 128 tahun 2003, mewajibkan pemeriksaan persentase kandungan minyak mentah pada tanah tercemar atau Total Petroleum Hydrocarbon per dua pekan. Pengecekan minimal dilakukan 3 kali untuk melihat konsistensi hasil uji. "Kalau TPH sudah di bawah 1 persen, kita bisa nyatakan bioproses bisa dihentikan," ujarnya.
Kemarin, Selasa (11/6), JPU pada Kejaksaan Agung yang terdiri dari Sugeng Sumarno, Ariawan Agustiartono, dan Syamsul Kasim, meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Sudharmawati Ningsih, menjatuhkan vonis 5 tahun penjara kepada Kukuh. Tidak hanya itu, Kukuh juga diharuskan membayar uang denda sebesar Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan.
"Menyatakan terdakwa Kukuh Kertafasari terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi," kata jaksa Sugeng Sumaarno yang menjerat Kukuh dengan Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Korupsi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.