Lima Faktor Bikin Konvensi Capres Demokrat Tak Menarik
Konvensi Calon Presiden Demokrat tak menarik karena sejak awal, apapun keputusannya,pada akhirnya sudah dikunci Ketua Majelis Tinggi sejak awal.
Penulis: Y Gustaman
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat tak menarik karena sejak awal, apapun keputusannya, meski ada Komite Konvensi, pada akhirnya sudah dikunci Ketua Majelis Tinggi sejak awal.
Menurut Ray, setidaknya ada lima faktor yang membuat konvensi Partai Demokrat menjadi tidak menarik dan bahkan dapat menjauhkannya dari harapan untuk membuat terobosan kepemimpinan nasional.
"Bahwa konvensi sudah terlebih dahlulu dikunci dengan ketetapan harus berpatokan kepada AD/ART Partai Demokrat. Itu artinya apa dan bagaimanapun pelaksanaan konvensi harus berpatokan pada pasal 13 ayat 5 AD/ART yang menyatakan bahwa kewenangan menetapkan calon presiden Partai Demokrat tetap berada di tangan Ketua Majlis Tinggi Partai Demokrat yang dalam hal ini sekaligus sebagai dijabat ketua umum partai yakni SBY," ujar Ray di Jakarta, Selasa (13/8/2013).
Kedua, akibat ketentuan ini tak diubah, maka mudah ditebak bahwa proses konvensi sekadar pernak-pernik untuk terlihat ada upaya demokratis dalam memilih capres. Dalam bahasa lain konvensi ini hanya bunga-bunga partai untuk terlihat seperti partai yang pro pada demokrasi.
"Padahal dengan tetap tidak menghapus ketentuan pasal 15 ayat 3 AD/ART dan faktanya ketua umum dan ketua majlis tinggi adalah orang yang sama, sudah lebih dari cukup memberi isarat bahwa pencapaian subtansi demokrasinya sangat lemah," tambahnya.
Menurut Ray, sekalipun dinyatakan secara lisan bahwa ketua majelis tinggi tidak akan memveto hasil konvensi, tapi hal itu tidak menjadi jaminan akan terlaksana. Pernyataan itu dapat terlihat serius jika ditindaklanjuti dalam bentuk pernyataan bersama secara tertulis. Dan hal ini dijadikan sebagai bagian dari peraturan konvensi.
Faktor ketiga, bahwa ketentuan pendaftaran yang semi terbuka merupakan faktor berikut yang membuat nilai konvensi ini kurang menarik. Pesertanya hanya bersifat undangan memberi sinyal kompetisi setengah hati. Terlebih kelak, sarat-sarat pencalonan tak memberi gambaran yang memungkinkan orang-orang terjauh dari partai dapat masuk dalam kategori diundang.
Undangan itu sendiri sudah menyiratkan adanya kompetisi yang terdegradasi. Dalam banyak praktek, pembatasan hanya dikenal dengan dalam atau terbuka. Artinya, konvensi tertutup sekedar melibatkan kader dan terbuka melibatkan partisipasi dari non kader.
"Dengan semi terbuka seperti sekarang persoalan utamanya adalah menentukan siapa yang layak dan tidak layak diundang. Apa saja ukurannya, apakah dalam ukuran itu ada partisipasi baik kader maupun warga. Apakah mereka berhak mencalonkan atau tidak. Di sinilah beberapa persoalan semi terbuka itu mendapat tantangannya," katanya.
Keempat, metode penetapan capres hasil konvensi melalui hasil survey juga menjadikan spirit konvensi menjadi semata ajang pertaruhan popularitas dan citra. Setidaknya ada dua kelemahan dalam hal ini. Pertama, cara ini akan menggiring para kandidat capres untuk berlomba-lomba mempopulerkan diri. Dengan sebanyak-banyaknya tampil di publik, menggenjot popularitas dengan iklan dan memobilisasi citra menjadi keniscayaan.
Hal ini dapat mengaburkan tujuan pencarian kandidat capres dengan visi Indonesia yang maju, bersih dan sejahtera. Kandidat akan lebih terpancing lebih mengutamakan persepsi dari fakta. Yang digalakkan adalah soal bagaimana membuat persepsi baik di mata masyarakat sekalipun sesungguhnya jauh dari yang diutarakan.
Kedua, jika akhirnya metode penetapan kandidat capres melalui hasil survey pada hakekatnya tak perlu dilakukan konvensi. Sebab, secara alami dan berjalan apa adanya, banyak tokoh yang mendapat apresiasi dan penilaian layak di mata masyarakat saat ini.
Banyak survey yang diungkapkan ke masyarakat saat ini dapat dijadikan sebagai rujukan untuk melirik calon presiden yang dimaksud. Justru akan menjadi lucu, nama yang begitu luas muncul di persepsi masyarakat sebagai calon presiden yang diungkapkan melalui berbagai survey malah tidak diundang untuk terlibat dalam konvensi.
Mematok survey sebagai alat ukur dengan sendirinya juga menapikan partisipasi warga Partai Demokrat sendiri. Padahal, partisipasi warga Demokrat mestinya menjadi sesuatu yang dengan sendirinya menjadi bagian inti dari konvensi ini. Tentu di samping adanya keterlibatan masyarakat umum di dalamnya.
"Kelima, sampai sejauh ini, Partai Demokrat belum berani mengungkapkan kisaran dana yang mereka butuhkan untuk pelaksanaan konvensi, dan dari mana dana tersebut didapatkan. Jelas dana yang dibutuhkan tidaklah sedikit," ungkapnya.
Masih kata Ray, penting diungkapkan kepada masyarakat soal dana konvensi. Selain hal ini merupakan bagian dari kewajiban transparansi, juga karena partai Demokrat sendiri saat ini didera isu tentang penggunaan dana ilegal dalam kongres partai mereka sebelumnya.
"Jika akhirnya Partai Demokrat tetap diam tentang berapa besar dana yang dikeluarkan untuk konvensi dan dari mana saja dana tersebut didapatkan maka konvensi ini kehilangan kesempatan untuk mengabdi pada tujuan-tujuan subtansial Demokrasi," terangnya.
Ia sangat menyangkan, jika terobosan yang mulia ini justru lemah dalam subtansinya. Dapat diartikan, konvensi seperti pesta tempat orang menari-nari dan berakhir begitu saja tanpa kenangan yang layak diperbincangkan.