Rieke: Pidato SBY Seperti Fiksi Ilmiah
Rieke Diah Pitaloka mengkritisi pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tak ubahnya sebagai karya fiksi ilmiah.
Penulis: Y Gustaman
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) Rieke Diah Pitaloka mengkritisi pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tak ubahnya sebagai karya fiksi ilmiah.
Menurut Rieke, pidato SBY seperti kebanyakan yang disampaikannya ditaburi banyak bumbu-bumbu istilah dan teori berbahasa Inggris yang terkesan ilmiah. Apalagi diisertai dengan angka-angka yang seolah memperlihatkan akurasi keberhasilan.
"Apakah angka-angka itu berbasis pada data dan realita sesungguhnya? Atau sekedar fiksi belaka pembungkus pencitraan? Masyarakat tentu sudah cerdas, dan mampu menilai yang sesungguhnya terjadi," kata Rieke di DPR, Jakarta, Jumat (16/8/2013).
Anggota Komisi IX ini menyoroti dengan mengambil contoh pengakuan SBY bahwa kesejahteraan rakyat pada masa pemerintahannya diklaim terus meningkat. SBY menggunakan argumen pada angka PDB per kapita (2004=1177 dollar AS, 2009=2290 dollar AS, 2012= 3092 dollar AS). Pada tahun 2014 SBY menyatakan per kapita kurang lebih 5000 dollar AS.
PDB itu mengukur produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara. Pertanyaannya, apakah seluruh rakyat Indonesia yang menikmati. Karena faktanya mereka yang menikmati adalah yang mendapat akses dalam bidang ekonomi.
"Contohnya Papua. Pertumbuhan ekonominya tertinggi di Indonesia, tapi angka kemiskinan juga yang tertinggi. Mari kita berpikir positif. PDB 5000 dollar AS per kapita, itu berarti Rp 50 juta per tahun atau Rp 4.2 juta per bulan per KK. Artinya, per orang Rp 1 juta per bulan," ujarnya.
Menurutnya, merujuk data statistik BPS, menunjukkan bahwa kemampuan masyarakat yang mampu belanja di atas Rp 1 juta per bulan hanya 16 persen. Sedang di atas Rp 500 sampai Rp 1 juta ada 30 persen dan di bawah Rp 500 ribu ada 55 persen.
"Pertanyaannya kesejahteraan macam apa yang dimaksud apabila sebanyak 85 persen rakyat justru daya belinya di bawah Rp 1 juta perbulan. Kemampuan daya beli memperlihatkan penghasilan per bulan. Data yang dilansir BPS tersebut bahkan belum dihitung berdasarkan kondisi pasca kenaikan harga BBM," katanya.