Tes Keperawanan Bertentangan dengan Konstitusi
Tes keperawanan berimplikasi memutus masa depan anak perempuan karena tidak dapat melanjutkan pendidikan dan hidup dalam stigma negatif
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa tes keperawanan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan bertentangan dengan konstitusi. Tindakan tersebut merendahkan derajat martabat manusia dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
"Tes keperawanan juga dapat berimplikasi memutus masa depan anak perempuan karena tidak dapat melanjutkan pendidikan dan hidup dalam stigma negatif di dalam masyarakat," kata Ketua Gugus kerja Perempuan Dalam Konstitusi Hukum Nasional Komnas Perempuan, Husein Muhammad di Kantornya, Kamis (22/8/2013).
Husein menuturkan, Komnas Perempuan menyangkan bahwa usulan tentang tes keperawanan berulang kali diangkat oleh aparat pemerintahan dan anggota legislatif daerah tanpa ada penyikapan serius dari pemerintah di tingkat nasional.
Situasi ini menunjukkan pemahaman yang rendah dari pihak tersebut atas mandat konstitusi bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara.
"Tes keperawanan ini juga bertentangan dengan sejumlah landasan hukum nasional lainnya khususnya pasal 2 Undang-undang No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita," ujarnya.
Seperti diberitakan, Disdik Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, membuat rencana kebijakan yang kontroversial. Semua siswi sekolah di Prabumulih diwacanakan akan dites keperawanannya. Tes tersebut sebagai respons terhadap maraknya kasus siswi sekolah yang berbuat mesum, bahkan diduga melakoni praktik prostitusi.
"Kami tengah merencanakan ada tes keperawanan untuk siswi SMA sederajat. Dana tes itu kami ajukan untuk APBD 2014," kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Prabumulih HM Rasyid, Senin (19/8/2013).
Rasyid mengakui, rencana Disdik tersebut rentan disalahartikan dan bakal mendapat kecaman pelbagai pihak. Disdik juga sempat takut rencana kebijakan itu bakal dicap melanggar hak asasi para siswi.
"Masalah keperawanan adalah hak asasi setiap perempuan. Tapi, di sisi lain, kami berharap seluruh siswi tak terjerumus ke hal negatif. Karena itu, kami tetap mewacanakan kebijakan itu untuk digelar tahun depan," katanya.