MA: Pembunuh Belum Diadili, Kasus Pembunuhan Udin Tidak Kedaluwarsa
Dewan Pers akan melakukan audiensi dengan beberapa instansi yang terkait penanganan kasus pembunuhan Udin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pada 2014, kasus pembunuhan wartawan harian Bernas Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin, telah berlalu 18 tahun. Pelakunya tak juga terungkap. Akankah kasus ini kedaluwarsa begitu saja?
"Kasus pembunuhan Udin tidak (akan) kedaluwarsa karena tersangka (pembunuhnya ) belum pernah diadili," tegas Ketua Kamar Pidana Umum Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar, dalam diskusi publik "Upaya Mengungkap Misteri Pembunuhan Udin Melalui Mekanisme Pengadilan", di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (5/9/2013).
"Nampaknya ada skenario untuk mengambinghitamkan. Tersangkanya saja belum pernah diperiksa, bagaimana bisa disebut kedaluwarsa?" kata Artidjo. Menurut dia, yang bakal kedaluwarsa pada 2014 dalam kasus ini adalah hak untuk menuntut seseorang ke pengadilan terkait perkara tersebut.
Sementara itu, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo mengatakan "istilah" kedaluwarsa tidak dikenal dalam kasus pelanggaran HAM berat. Kasus Udin, menurut dia, masuk kategori pelanggaran HAM berat itu. Pasal 53 UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menjadi rujukannya soal tak ada "kedaluwarsa" untuk kasus pelanggaran HAM berat.
Rencananya, kata Yosep, Dewan Pers akan melakukan audiensi dengan beberapa instansi yang terkait penanganan kasus pembunuhan Udin. "Kami (akan) melakukan audiensi ke Mabes Cilangkap, Mabes Polri, Kompolnas, Komisi III, dan barangkali ke Ombusdsman. Ini penting, karena banyak agenda yang akan kami bahas di sana," ujar dia.
Melawan lupa, kejanggalan kasus Udin
Dalam diskusi tersebut Yosep kembali memaparkan beragam kejanggalan sejak awal penanganan kasus Udin. Misalnya, sebut dia, tempat kejadian perkara yang sangat telat diberi garis polisi. Saat itu, siapa pun bisa keluar masuk ke lokasi dengan bebas. "Seperti pasar malam. Garis polisi baru dipasang di hari ke-13, dan hanya dipasang satu hari. Bukti hilang," kecam dia.
Selain itu, lanjut Yosep, Dwi Sumaji alias Iwik diminta mengaku sebagai pelaku pembunuhan, meskipun pada akhirnya dia mencabut seluruh pengakuan. Pencabutan pengakuan dilakukan setelah Iwik menyadari dia telah menjadi korban rekayasa perkara.
Iwik juga mengaku pengakuan yang sempat dia buat dilakukan di bawah ancaman dan paksaan Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto. Dalih pemaksaan itu, menurut Iwik menirukan Franki, adalah demi melindungi Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo.
Yosep menambahkan, sampai saat ini hipotesis perselingkuhan istri Udin dengan Iwik masih menjadi landasan perkara pembunuhan Udin. Dasar perkara ini menjadi salah satu hambatan untuk mengusut kembali kasus Udin.
Penganiayaan Udin terjadi pada 13 Agustus 1996. Diduga penganiayaan yang merengut nyawa Udin ini terkait dengan berita yang dia tulis di harian Bernas, di antaranya soal dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul.
Udin dianiaya seorang lelaki tak dikenal di rumahnya sendiri, di Jalan Parangtritis Km 13,5 Bantul. Setelah luka parah dan menjalani perawatan 4 hari di rumah sakit, Udin meninggal pada 17 Agustus 1996.
Penyidikan Polres Bantul bukan berupaya mendapatkan pelaku penganiayaan Udin melainkan justru menyusun skenario pengaburan pelaku sesungguhnya penganiayaan itu. Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur sebuah tindak pidana akan kedaluwarsa setelah 18 tahun. Apakah kasus Udin akan dibiarkan kedaluwarsa?(Ummi Hadyah Saleh)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.