PDIP Tegaskan Perpu MK Menyalahi Aturan dan Tidak Perlu
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari menegaskan Perpu MK menyalahi aturan dan tidak perlu.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Gusti Sawabi
Tribunnews.com, JAKARTA-- Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari menegaskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) penyelamatan Mahkamah Konstitusi(MK) menyalahi aturan dan tidak perlu.
Pasalnya, menurut Politisi PDIP ini, Perppu MK ini sepatutnya tetap dibuat dalam koridor penghormatan prinsip keterpisahan kekuasaan antara leg-eks-yudikatif, maka sebaiknya perppu hanya dibuat dalam situasi mendesak sesuai kebutuhan yang berkaitan dengan isu kesejahteraan. Bukan isu yang menyebabkan tata negara dicederai. Misalnya wewenang yudikatif dan legislatif yang diserobot eksekutif.
Selain itu, kata Eva, soal pemilihan hakim sudah diatur dalam konstitusi pasal 24C ayat 6 yakni pengangkatan, dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang MK diatur dengan UU.
"Jd menurutku perppu sepatutnya ditolak DPR karena isinya tidak sesuai UUD dan situasi emergency tidak berdasar mengingat kasus sudah ditangani secara hukum yakni KPK. Jadi tidak perlu penyelesaian politik," tegas Eva kepada Tribunnews.com, Minggu (20/10/2013).
Perppu ini juga mengatur pemilihan hakim (pembentukan tim penilai) terhadap usulan-usulan Mahkamah Agung (MA)-Presiden-DPR. Menurutnya, ini potensi buruk yang mengganggu otoritas masing-masing lembaga pemegang kekuasaan tersebut sbg perwujudan kedaulatan rakyat.
Menurutnya, keberadaan Tim panel yang punya kekuasaan menilai lembaga-lembaga tinggi ini tidak bisa dibenarkan krn potensi mengganggu praktek ketata negaraan. Sepatutnya tim panel bekerja sebelum pengambilan keputusan oleh DPR, MA, Presiden sebagaimana praktek timsel untuk hakim MA selama ini.
"Sejak revisi UUD, keberadaan lembaga-lembaga tinggi negara setara, tidak ada yang lebih tinggi apalagi jika tim panel dibentuk tanpa melalui proses demokratis, melibatkan rakyat secara langsung, bagaimana mau 'menilai' putusan politik DPR sebagai perwujudan kedaultan rakyat," jelasnya.
Hal senada juga diutarakan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Trimedya Pandjaitan. Politisi PDIP ini menolak keras Perpu penyelamatan MK. Menurutnya, Perpu itu mengandung kecacatan yang fatal.
Menurut Trimedya, cacat fundamental yang terdapat dalam Perpu MK ini terletak pada poin (b) Perpu tersebut. Dijelaskan bahwa Perpu tersebut dibuat untuk menyelamatkan MK dari kepribadian hakim MK yang tercela.
"Ini pertimbangan fatal. Satu hakim yang berbuat, semua dianggap tercela. Ini kesalahan fundamental dari Perpu ini, dan ini cacat ketatanegaraan. Masa satu orang yaitu Pak Akil Mochtar (Ketua MK nonaktif -red), maka delapan hakim lainnya disebut tercela," kata Trimedya.
Adapun bunyi poin (b) dari Perpu No 1 Tahun 2013 tentang perubahan kedua atas UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah bahwa untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar, akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi, perlu dilakukan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Menurut politisi PDIP ini, Perpu ini telah menggeneralisir sifat dari hakim-hakim konstitusi selain Akil Mochtar. Semua hakim konstitusi dinilai sama tercelanya dengan Akil. Untuk itu, Perpu ini, menurutnya, sebaiknya ditarik saja jika tak ingin ditolak DPR.
"Menurut saya sebaiknya ditarik saja Perppu ini sebelum dikirim ke DPR, karena ini sangat mendasar dan menjadi alasan kuat bagi DPR nanti untuk menolak Perpu ini," sarannya.