Harus Ada Tradisi Politik Baru dalam Memilih Capres
Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH), Dian Permata menyatakan Indonesia harus memulai paradigma dan tradisi politik baru
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH), Dian Permata menyatakan Indonesia harus memulai paradigma dan tradisi politik baru dalam memilih calon presiden. Menurutnya, selama ini calon presiden (capres) masih ditentukan melalui penetapan di masing-masing partai politik.
Selain itu menurut Dian, latar belakang peserta dalam pemilihan presiden yakni mayoritas berasal dari ketua umum dan ketua pembina atau dewan syuro partai politik, dimana fenomena tersebut terjadi sejak reformasi.
"Tradisi seperti ini harus segera diubah demi kemajuan sistem dan tatanan politik di Indonesia," kata Dian dalam dialog 'Realitas Capres 4 L: Fenomena Pemimpin Muda dan Capres Alternatif' di Hotel Century, Jakarta, Minggu (27/10/2013).
Dian menuturkan, saat ini mayoritas Capres ditetapkan melalui metode penetapan. Ia mencontohkan, seperti PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra dan PAN. Partai Golkar adalah pencetus dan pelopor penggunaan metode konvensi dalam menjaring calon presiden dalam menghadapi Pilpres 2004.
"Sayang sekali, sebagai pelopor partai Golkar kembali menggunakan metode penetapan. Ini namanya mundur dan bukan maju," cetusnya.
Dian menjelaskan, dengan metode konvensi para peserta diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk meyakinkan para dewan juri panel. Seperti memaparkan visi dan misi, road map, serta ide tentang Indonesia masa depan yang lebih baik.
"Peserta konvensi tidak mutak hanya milik ketua umum atau ketua dewan syuro. Siapa saja boleh menjadi peserta konvensi dengan syarat yang telah ditetapkan," tuturnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.