Buku Putih NU Ungkap Dramatisasi Jumlah Korban 1965
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menerbitkan buku putih Benturan NU-PKI 1948-1965.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menerbitkan buku putih “Benturan NU-PKI 1948-1965”. Buku itu, antara lain mengungkap adanya dramatisasi jumlah korban yang meninggal dalam serangkaian peristiwa horisontal yang terjadi semenjak 1965.
Buku putih diluncurkan di kantor PBNU, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2013), dilanjutkan bedah buku oleh Kiki Syahnakri (PPAD), Abdul Mun’im DZ (tim buku putih), dan KH Chalid Mawardi (Mantan Ketua Umum GP Ansor).
Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali saat memberikan pengantar peluncuran buku itu mengatakan, sejumlah pengamat melakukan dramatisasi jumlah korban. Dikatakannya, dari sekitar belasan atau puluhan ribu korban disebutkan berjumlah ratusan ribu, bahkan peneliti barat mengasumsikan jumlah korban menyentuh angka hingga satu juta orang.
Dikatakannya, beberapa tulisan yang diterbitkan dan dijual bebas memang sengaja memilih asumsi angka korban yang paling besar, agar memunculkan efek spektakuler. Hingga saat ini jumlah dibiarkan simpang siur dan masyarakat barat heboh dengan ulah para peneliti mereka sendiri.
“Tim buku putih telah melakukan penelusuran dan mengungkapkan adanya proses dramatisasi jumlah korban itu. Bahkan di beberapa daerah yang menjadi basis PKI, asumsi jumlah korban yang dimunculkan itu lebih banyak dari jumlah penduduk yang terdata waktu itu. Ini kan aneh?” kata As’ad.
Ia mengungkapkan, dalam peristiwa 1965 juga tidak terjadi genosida atau pembunuhan terencana. Yang terjadi adalah konflik horisontal terutama ketika terjadi kekacauan dan vakum kekuasaan. Para pelakunya atau korbannya tidak tunggal. Buku putih itu sendiri mengungkapkan data korban dari kalangan NU baik dalam peristiwa 1948 dan 1965 yang hampir tidak pernah dicatat oleh para peneliti barat.
Ditambahkan, beberapa dasawarsa setelah peristiwa 1965 telah terjadi proses rekonsiliasi (islah) telah terjadi secara alami. Kesamaan tradisi dan kepentingan yang sama dalam menjalankan hidup bermasyarakat dan bernegara menjadi pintu utama dalam proses rekonsiliasi ini.
“Di beberapa basis PKI, buku ini juga mengungkapkan banyak fakta mengenai kebesaran hati para kiai NU dengan merawat, membesarkan dan mendidik anak-anak korban serangkaian konflik horisontal yang telah terjadi bahkan sebagian di antara mereka telah menjadi pegawai negeri sipil dan berperan di banyak bidang,” katanya.
Dikhawatirkan, berbagai bentuk propaganda dan provokasi yang dilakukan pihak-pihak tertentu dapat mengganggu proses terjadinya rekonsiliasi alami itu, bahkan akan terus mengadudomba bangsa Indonesia.