TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Memasuki tahun ajaran 2013/2014 peserta didik di Indonesia menggunakan kurikulum baru. Dalam edisi terbaru ini, kurikulum untuk jenjang Sekolah Dasar (SD) mengalami banyak perubahan. Perubahan isi standar kurikulum untuk SD ini menerapkan sistem pembelajaran berbasis tematik integratif. Tujuannya adalah mengurangi beban belajar peserta didik dengan konsekuensi jam belajar bertambah. Dari keadaan ini pemerintah berharap perilaku negatif siswa diluar sekolah dapat ditekan.
Sebelumnya, jumlah jam belajar siswa SD kelas I – III sebanyak 26-28 jam per minggu, sedangkan untuk kelas IV – VI sebanyak 32 jam. Dengan diterapkannya kurikulum ini, maka siswa SD setiap minggunya akan menghabiskan 30-32 jam untuk kelas I –III dan 36-38 jam untuk kelas IV hingga VI.
“Sedari kecil siswa harus dibiasakan memanfaatkan jam belajarnya dengan efektif,” tukas Fahrus Zaman M.Pd. Wasekjen IKA UPI (Ikatan Alumni UPI) Bandung ini menegaskan pengoptimalan cara belajar bagi siswa SD sangat penting karena menjadi dasar bagi siswa ke depannya.
Namun, Fahrus menyayangkan dihapusnya mata pelajaran bahasa Inggris dari kurikulum untuk Sekolah Dasar. Menurut sekjen Ikatan Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris Indonesia ini, pengalihan status bahasa Inggris dari mata pelajaran menjadi kegiatan ekstrakurikuler membawa konsekuensi yang harus dicermati pemerintah.
“Dari segi usia, siswa SD sedang dalam masa golden age, di mana kemampuan menyerap informasinya sangat kuat,” ujar penulis buku Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 itu.
Tujuan pemerintah menghilangkan bahasa inggris adalah untuk mengurangi beban siswa dan memprioritaskan penguasaan bahasa indonesia. Fahrus menilai ini hanyalah sebuah langkah pemerintah dalam politik berbahasa. Ia menambahkan, bahasa ibu bagi bangsa indonesia dalam kajian sosio-linguistik bukanlah bahasa indonesia, melainkan bahasa daerah.
“Justru karena bahasa indonesia adalah bahasa persatuan bangsa, maka ia harus hidup bersama bahasa asing agar identitas bangsa kita jelas dan eksis,” tegas pendiri The Leadership Institute ini.
Lebih lanjut Fahrus menuturkan mengecilnya kesempatan siswa SD mendapat pelajaran bahasa inggris dapat berdampak serius.
“Jangan lupa, anak bangsa harus mampu bergaul dengan anak-anak seusianya yang memiliki kultur dan bahasa yang berbeda, karena hal ini sangat berguna bagi perkembangan anak, ” jelas Fahrus, yang juga Direktur Advokasi Media Indonesian Center for Telecommunicatian Law (ICTL).
Ia melanjutkan, banyaknya sekolah internasional yang bermunculan, khususnya di Jakarta, telah membuka peluang pergaulan anak lintas bangsa.
“Akses bagi kemajuan anak sudah terbuka, pemerintah harus mampu memanfaatkannya,” tutup Fahrus Zaman.