Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kontroversi Nama Denny JA Masuk Daftar 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh

seakan-akan persoalan Denny JA tidak mungkin terjadi di dalam kenyataan sosial kita

zoom-in Kontroversi Nama Denny JA Masuk Daftar 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin, Aryany Isna Murti (kanan) menyerahkan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh kepada satu di antara tokoh yang dituliskan dalam buku tersebut, Denny JA (kiri), dalam acara peluncuran buku tersebut di Jakarta, Jumat (3/1/2014). Buku karya Jamal D Rahman dan kawan-kawan tersebut mengupas tokoh sastra di Indonesia dari beberapa generasi satrawan seperti Marah Roesli, Buya Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar sampai generasi Rendra, Taufik Ismail, Putu Wiajay, Ayu Utami, dan lain-lain. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nama Denny JA tiba-tiba masuk ke dalam daftar 33 tokoh sastra paling berpengaruh, sebuah buku yang diterbitkan pusat dokumentasi sastra HB Jassin belum lama ini. Hal tersebut pun memunculkan kontroversi, bagaimana bisa nama seorang Denny JA yang dikenal luas oleh publik sebagai konsultan politik bisa masuk ke 33 tokoh sastra paling berpengaruh.

Puthut Ea seorang Sastrawan asal Yogyakarta pun kemudian ikut berkomentar melalui akun Facebooknya menyoal masuknya nama Denny JA tersebut.

Menurut Puthut, ketika kasus Denny JA muncul lalu merebak di media sosial, bagi dirinya justru yang mengherankan adalah kenapa banyak orang yang merasa kaget, seakan-akan persoalan Denny JA tidak mungkin terjadi di dalam kenyataan sosial kita.

"Ujug-ujug alias makjegagik," kata Puthut, Senin(6/1/2013).

Tapi persoalan mendasar masyarakat lndonesia menurut Puthut memang belum berubah, sebuah kejadian dianggap tidak punya tanah tempat akarnya bersembunyi, tidak punya rahim tempat bocah kenyataan 'mbrojol'. Peristiwa dianggap terlepas dari persoalan sosial. Kasus Ratu Atut diobrolkan seakan-akan jaraknya sangat jauh.

"Kasus Sitok 'diblejeti' seakan-akan di dekat kita tidak banyak terjadi," ujarnya.

Puthut pun mempertanyakan apa yang aneh kalau Denny JA yang berlebih uang itu menukar modal finansialnya dengan modal sosial? Masih saja ada yang mencoba mengulik betapa lemahnya argumen yang menempatkan Denny ke dalam himpunan 33 tokoh yang berpengaruh di dunia sastra.

Berita Rekomendasi

Lalu merasa tidak habis pikir kenapa Sapardi Djoko Damono dan sastrawan gaek lain mau membaiat Denny JA jadi sastrawan yang memiliki terobosan dalam bidang penulisan esai puisi.

"Kok repot amat analisanya? Panitia atau kuratornya jelas dibayar (mahal). Soal teori atau himpunan itu dibuat-buat saja supaya di dalam pembaiatan tidak terlalu vulgar. Makanya tidak usah repot juga bertanya soal 33. Mau 33 kek, mau 50, mau 100 ya tidak apa-apa yang penting bagi Denny dan panitia nama Denny masuk," ujarnya.

"Apa persoalan Denny itu hal baru di dunia sosial dan kebudayaan kita? Kalau sampeyan bilang baru ya berarti cupet. Apa sih beda antara kasus Denny dengan kerajaan-kerajaan tertentu yang mengecer gelar untuk kaum politikus, intelektual dan artis? Apa bedanya dengan kaum-kaum adat tertentu yang memberi gelar untuk mereka yang punya uang dan jabatan? Jadi ya enggak usah kagetan. Biasa saja," tambah Puthut.

Lebih jauh Puthut menjelaskan yang lebih menyedihkan lagi ketika pokok soalnya terarah bagi Denny.

"Lho apa salah Denny? Dia sudah mengeluarkan uang, mungkin juga sudah harus memotong urat malunya, kok masih disalahkan? Kalau sampeyan punya rumah, terus rumah tersebut disewa 10 kali lipat dari harga biasa, lalu dipakai untuk buka game center, kemudian ketika warga sekitar protes karena anak-anak mereka lebih sering main game, yang disalahkan paling utama yang menyewakan rumah (sebagai bagian dari anggota komunitas) atau yang menyewa rumah?,"kata Puthut.

Puthut juga melihat tidak terlalu ribet untuk memakai teori ilmu sosial dan kebudayaan untuk membedah peristiwa ini. Hanya persoalan banyak orang kelaparan dan ada orang yang membawa makanan.

Si pembawa makanan meminta syarat tidak hanya diberi ucapan terimakasih tapi juga dipuji. Tempat untuk memuji sudah dipersiapkan lalu sesudah memuji dikasih makan lagi. Sesederhana itu, tidak perlu 'ndakik-ndakik'.

"Oke kalau sampeyan masih protes melulu, kita dolanan. Kalau Denny JA meminta sampeyan untuk menulis resensi buku tentang 33 tokoh tersebut dengan nada yang positif, mau gak? Tidak mau? Bener? Dibayar lho. Satu resensi yang kira-kira berjumlah 1000 kata dibayar 5 juta rupiah. Gak mau? Oke, kalau begitu dibayar 10 juta rupiah. Media massa yang mau memuat tidak usah Anda pikir. Sudah disiapkan. Bagaimana? Kok diam? Sudah gini saja, 20 juta ya. Tunai. Oke? Gak mau? Taek!," kata Puthut.

"Apakah kalau Anda menerima tawaran itu keliru? Ya enggak. Masak orang lapar kok keliru. Apes banget hidup kita kalau sudah lapar tapi masih juga keliru," tutup Puthut.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas