Fraksi Golkar Pertanyakan Keseriusan Pemerintah Jalankan JSKN
Fraksi Partai Golkar (FPG) mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menjalankan Jaminan Sosial Kesehatan
Editor: Widiyabuana Slay
TRIBUNNEWS.COM - Fraksi Partai Golkar (FPG) mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menjalankan Jaminan Sosial Kesehatan Nasional (JSKN) melalui BPJS Kesehatan. Pasalnya, banyak kejanggalan yang dilakukan Pemerintah terkait implementasi program tersebut. Hal ini disampaikan anggota FPG Poempida Hidayatulloh di Gedung DPR, Rabu (15/01/2014). Demikian rilis yang diterima redaksi Tribunnews.com.
Kejanggalan tersebut menurut Poempida meliputi besaran iuran Rp 19.225,- yang merupakan bantuan pemerintah bagi 86,4 juta orang tidak mampu (PBI: Penerima Bantuan Iuran).
“Besaran iuran itu tidak akan memberikan insentif yang cukup bagi kesejahteraan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya, sehingga dapat berdampak pada rendahnya mutu pelayanan,” katanya.
Menurutnya, dirinya sempat membintangi anggaran tersebut. Namun setelah mendapatkan komitmen dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan bahwa pada kwartal pertama akan ada evaluasi, sehingga besaran PBI pun dapat dinaikkan per kapitasinya, maka bintang pun ia cabut.
“Padahal, angka Rp 19.225,- tidak jelas basis perhitungan akuarialnya,” tambahnya.
Catatan lain, lanjut Poempida, Pemerintah hanya menargetkan untuk mengcover 111 jutaan penduduk Indonesia pada tahun 2014, dimana 86,4 juta adalah masyarakat miskin dan sisanya adalah yang membayar iuran.
Pemerintah nampaknya tidak memperhitungkan terjadinya lonjakan peserta JSKN ini.
Apabila akibat stimulasi daya tarik peminta tinggi dengan intensifnya sosialisasi, maka sangat dikhawatirkan akan terjadi banyaknya peserta Jaminan Sosial ini yang tidak dapat tertangani.
“Sementara, akan ada potensi 30 jutaan fakir miskin yang tidak tertangani pemerintah. Bagaimana langkah pemerintah mengatasinya?,” tanyanya.
Oleh karena itu, FPG berharap agar pemerintah segera melakukan revisi kebijakan pada masa yang sudah semakin mendesak ini.
“Pemerintah harus segera revisi kebijakan pada masa yang sudah semakin mendesak ini,” tutup Poempida.