Tersangka Korupsi Turbine Ajukan Praperadilan
Tim kuasa hukum mengajukan praperadilan ke PN Jaksel atas dugaan korupsi pengadaan life time extension
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim kuasa hukum mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (11/2/2014) siang, atas dugaan korupsi pengadaan life time extension (LTE) gas turbine (GT) di PLTGU Blok 2 Belawan, dengan tersangka Direktur Operasional PT Mapna Indonesia, Mohammad Bahalwan.
Atas pengajuan ini, mereka berharap pengadilan membebaskan Bahalwan.
Para pengacara yang tergabung dalam kantor hukum Assegaf Hamzah & Partner itu menilai tidak ada bukti bila Bahalwan melakukan korupsi maupun Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait proyek tersebut.
"Intinya, masalah sah atau tidaknya penanahanan yang dilakukan sejak 27 Januari di rutan Kejari Jakarta Selatan. Praperadilan diajukan dengan alasan penahanan ini tidak sah, bukti masih kurang," kata anggota tim kuasa hukum, Eri Hertiawan, dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (11/2/2014).
Menurut Eri, seharusnya jaksa penyidik Kejaksaan Agung terlebih dahulu mengumpulkan bukti untuk membuat terang-benderang suatu tindak pidana dan kemudian menetapkan seseorang sebagai tersangka dan ditahan. Namun, hal itu justru terjadi sebaliknya karena bukti-bukti belum cukup.
Selain itu, mereka melihat ada kesalahan terhadap perkara yang ditangani Kejaksaan Agung ini. Bahwa PT Mapna Indonesia yang menjadi materi penyidikan bukanlah pihak yang terikat perjanjian dengan PT PLN Pembangkit Sumatera bagian Utara. Pihak yang terkait dengan kontrak kerja pengerjaan LTE gas turbine (GT) 2.1 dan 2.2 di PLTGU Belawan adalah konsorsium Mapna Co, PT Nusantara Turbin dan Propolsi.
Ia menegaskan, PT Mapna Indonesia dan Mapna Co yang berbasis di Iran adalah dua badan hukum yang berbeda.
Untuk praperadilan ini, mereka juga berdalih bila penetapan tersangka kepada Bahalwan adalah prematur karena belum ada bukti kerugian negara. Padahal, kerugian negara adalah elemen pokok suatu tindak pidana korupsi.
Atas dalih-dalih itu, tim kuasa hukum mengharapkan pengadilan menyatakan penahanan Bahalwan adalah tidak sah dan memerintahkan pembebasan dari penahanannya.
Eri membantah saat dikonfirmasi perihal kabar pihaknya, termasuk Chandra Hamzah, melakukan pertemuan dengan Jampidsus Widyo Pramono sebelum pengajuan praperadilan Bahalwan ini. Dikabarkan pihak pengacara mendapat saran dari Jampidsus untuk mengajukan praperadilan agar Bahalwan dilepaskan dari penahanan.
"Enggak ada. Saya ketemu cuma dengan jaksa penyidiknya saja. Itu pun pas pemeriksaan pertama dan kedua," kata dia.
Diberitakan, terkenalnya perkara ini diketahui setelag Bahalwan berusaha bunuh diri dengan menodongkan pistol ke dalam mulutnya saat jaksa hendak menahannya di Gedung Bundar Kejaksaan Agung pada 27 Januari 2014. Dia tidak terima jaksa menahan dirinya setelah dipanggil sebagai saksi dan langsung ditetapkan sebagai tersangka serta ditahan.
"Yang jelas, sekarang Pak Bahalwan stress, jadi stress sendiri. Jadi, kalau menyampaikan sesuatu enggak clean. Bagaimana nggak stress, lah pertama diperiksa sebagai saksi langsung jadi tersangka dan ditahan," kata Eri.
Pada malam penahanan itu, Bahalwan sempat melakukan perlawanan hendak dibawa ke Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung. Sejak 30 Januari 2013, jaksa memindahkannya ke Rutan Salemba cabang Kejari Jaksel.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan lima orang terkait proyek itu sebagai tersangka. Kelimanya yakni, Mohammad Bahalwan, Manajer PLN Belawan sektor Labuan Angin, Surya Dharma Sinaga, Cris Leo Manggala, Rodi Cahyawan dan Muhammad Ali.
Jaksa yakin dalam pelaksanaan tender itu terdapat indikasi tindak pidana korupsi karena tidak sesuai dengan kontrak. Salah satunya pekerjaan LTE GT 2.1 dan 2.2 PLTGU Blok 2 Belawan yang tidak dikerjakan.
Selain itu, terdapat kemahalan harga kontrak yang di-addendum menjadi Rp 554 miliar telah melampaui harga perkiraan sendiri (HPS), yaitu Rp 527 miliar dan output mesin yang seharusnya 132 MW ternyata hanya 123 MW.