Penolakan Praperadilan Bahalwan Dinilai Tidak Tepat
Tim advokat dari Kantor Hukum Assegaf Hamzah menghormati putusan Hakim Praperadilan pada PN Jaksl yang menolak gugatan Praperadilan Bahalwan
Penulis: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim advokat dari Kantor Hukum Assegaf Hamzah and Partners (AHP) menghormati putusan Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menolak gugatan Praperadilan Mohammad Bahalwan.
Bahalwan sendiri tersangkut perkara dugaan korupsi pekerjaan life time extension (LTE) Gas Turbine (GT) 2.1 dan 2.2 PLTGU Blok 2 Belawan.
Kendati demikian, AHP selaku kuasa hukum pemohon, Mohammad Bahalwan, mengaku kecewa dengan putusan tersebut dan menilai putusan itu tidak tepat.
Eri Hertiawan, perwakilan kuasa hukum Mohamad Bahalwan, mengatakan putusan tersebut tidak tepat, karena dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi, dimana unsur kerugian negara adalah elemen yg paling penting untuk dibuktikan, setiap orang seolah-olah bisa ditahan hanya karena dia ditetapkan sebagai tersangka.
"Padahal, penahanan adalah perampasan hak seseorang, maka harus ada bukti yang cukup sebagai dasar sahnya penahanan. Sedangkan dalam persidangan praperadilan, Termohon (Jaksa Agung) tidak dapat membuktikan telah adanya bukti permulaan yang cukup, terutama telah adanya perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK,” ujar Eri dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/2/2014).
Bukti-bukti yang disampaikan oleh Jaksa dalam proses persidangan tersebut pada dasarnya hanya berupa surat-surat mengenai perintah adanya penahanan, penetapan sebagai tersangka, perpanjangan penahanan dan sejenisnya. Dalam proses persidangan tersebut sama sekali tidak ada bukti permulaan yang cukup, khususnya masalah kerugian negara, untuk dijadikan sebagai dasar atau alasan mengapa Pemohon ditahan.
Dengan demikian Putusan Praperadilan tersebut justru bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang mengatur mengenai syarat-syarat sahnya penahanan.
Eri juga kecewa dengan putusan hakim karena ada fakta penting yang dikesampingkan, yaitu fakta bahwa PT Mapna Indonesia bukan pihak yang terikat perjanjian dalam pekerjaan LTE GT 2.1 dan 2.2 PLTGU Blok 2 Belawan.
“Hakim tidak mempertimbangkan unsur ‘barang siapa’, karena Mohammad Bahalwan sebagai Direktur PT Mapna Indonesia bukanlah pihak yang terikat dalam hubungan kontraktual dengan PT PLN (Persero) Pembangkit Sumatera Bagian Utara selaku pemberi pekerjaan,” paparnya.
Eri melanjutkan, hal penting yang bisa diambil dari putusan tersebut, yaitu penahanan tersangka bisa dengan mudah dilakukan karena bukti-bukti yang digunakan dalam penyidikan menurut hakim merupakan bukti-bukti yang levelnya berbeda dengan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan.
Dalam hal perkara Praperadilan Mohammad Bahalwan, penahanan hanya berdasarkan bukti administratif, bukan didasarkan pada bukti permulaan yang cukup yang disangkakan sesuai Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu ada atau tidaknya kerugian Negara.
“Di sinilah kekeliruannya, bukti-bukti pada tahap penyidikan harusnya sama dengan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan. Kalaupun bukti-bukti dalam penyidikan yang digunakan untuk melakukan penahanan ini pada awalnya bersifat tertutup, tetapi ketika keabsahan penahanan tersebut diajukan permohonan praperadilan, maka sah atau tidaknya penahanan tersebut tidak lagi bersifat tertutup karena dapat diuji dalam lembaga resmi yakni praperadilan,” katanya.