Roy Suryo Dituding Mengail di Air Keruh Dalam Konflik Keraton Solo
Roy Suryo dituding mengambil keuntungan politis dari upaya penyelesaikan konflik Keraton SOlo, termasuk soal lokasi pertemuan di Yogya
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rahmad Pribadi, pemerhati budaya lulusan Harvard University menganggap Roy Suryo seperti mengail Ikan dalam air keruh terkait dengan penyelesaian konflik Keraton Solo di Yogyakarta.
Menurutnya, Menteri Pemuda dan Olahraga itu sudah terlalu jauh menggunakan posisinya sebagai orang Jawa, keturunan ningrat dan sekaligus politisi untuk mengambil manfaat politis atas konflik tersebut.
Dalam keterangan tertulisnya kepada Tribunnews.com, Senin (24/2/2014), Rahmad menjelaskan, meski mendapat pendidikan Barat, sebagai orang Jawa dirinya merasa risih melihat kelakukan Roy.
Penyelesaian konflik Keraton Solo dengan cara mengundang dua tokoh sentral yakni Paku Buwono XIII Hangabehi dan Panembahan Agung Tedjowulan ke Gedung Agung di Yogyakarta menyalahi pakem yang ada.
"Sehingga pemanggilan itu lebih bermuatan politis daripada upaya untuk menyelesaikan masalah. Kalau mau bicara soal keturunan Kerajaan Mataram, ya harus digunakan silsilah dan posisi masing-masing," ungkapnya.
Lebih lanjut menurut pemandangan Master of Public Administration dari Harvard University ini, sebenarnya Sri Sultan Hamengkubuwono X lebih pantas yang membantu penyelesaian konflik Keraton Solo itu dibanding Roy Suryo.
“Tetapi saya tahu, bahwa Sri Sultan HB X tidak akan pernah mau ikut intervensi kecuali Keraton Solo memintanya,” ujar Rahmad Pribadi yang juga lulusan Texas University.
Dalam posisi itu, menurut pria muda kelahiran Jogyakarta ini, seharusnya Presiden SBY tidak mengundang kedua tokoh sentral Keraton Solo itu ke Jogyakarta, yang menjadi kekuasaan Sultan HBX sebagai raja.
“Harusnya, kalau saya kulo nuwun dulu dan harus melibatkan Sultan HBX sebagai raja Jogyakarta dalam penyelesaian itu karena wilayahnya digunakan sebagai tempat pertemuan. Itu kalau mau dilakukan penyelesaian dengan pendekatan budaya,” tuturnya.
Kesalahan lain Roy Suryo, menurut dia, Menteri Pemuda dan Olahraga tidak memberi masukan yang bijaksana kepada Presiden SBY terkait pengundangan kedua tokoh Keraton Solo ke Jogyakarta itu.
“Seharusnya Presiden SBY tahu posisi ini. Kalau Yogyakarta pada tahun-tahun lalu mau dihilangkan keistimewaannya, lha Keraton Solo kok malah mau diurusi? Kan aneh sekali rasanya. Pemerintah harus belajar sejarah dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terkait dengan kerajaan dulu. Roy Suryo kalau mau jadi pembisik harus belajar sejarah Indonesia dulu, supaya tidak kesandung-sandung,” jelasnya.
Kata dia pula, campur tangan Presiden SBY dalam konflik Keraton Solo mengingatkan Indonesia pada zaman penjajahan dahulu, yakni Gubernur Hindia Belanda selalu campur tangan dalam konflik keraton di Indonesia.
Bahkan pemerintah Kolonial memecah belah Kerajaan Mataram agar tidak memiliki kekuatan untuk melawan penjajahan.
Terkait dengan cara penyelesaian, Rahmad meluruskan permasalahan yang ada. Dengan konflik tersebut, keraton Solo seperti kembali ke sejarah jaman dulu yakni perebutan tahta kerajaan dan siapa yang akan memegang kendali kekuasaan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.