Cara Roy Suryo Selesaikan Konflik Keraton Solo: Seorang Ningrat yang Melanggar Pakem Jawa
Cara Roy Suryo menyelesaikan konflik keraton Solo Rahmad sebut dalam istilah seorang ningrat yang melanggar pakem Jawanya.
Penulis: Adi Suhendi
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyelesaian konflik Keraton Solo yang dimediasi Roy Suryo dianggap sudah melanggar beberapa pakem dan adat Jawa.
Pemerhati Budaya Rahmad Pribadi dalam jumpa persnya di Restoran Pulo Dua, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2014) mengungkapkan dirinya sebagai masyarakat Yogyakarta merasa tidak nyaman pada apa yang dilakukan Menpora.
Ia menyiratkan, Roy Suryo justru mengabaikan sejumlah 'pihak berwenang' yang seharusnya ikut dilibatkan. Pelangaran 'tata krama' itulah yang membuat Rahmad keberatan.
"Kurang nyamannya begini, di dalam konteks trah Kerajaan Mataram itu ada para raja-raja, nah ketika konfliknya (adalah) konflik budaya seperti ini, konflik katakan lah di keraton kemudian dua tokoh besar diundang ke Yogyakarta. Maka di situ ada tokoh budaya, tokoh masyarakat, tokoh keraton, tokoh trah Mataram yang seharusnya menjadi penguasa yang harus dilibatkan," ungkap Rahmad.
Rahmad menyebut tidak mempermasalahkan penyelesaiaan dan mediasinya. Tetapi, kata Rahmad, muncul keprihatinan saat itu dilakukan di Yogyakarta lewat cara seperti yang terjadi 23 Februari 2014 silam. Cara Roy Suryo, ia sebut dalam istilah seorang ningrat yang melanggar pakem Jawanya.
"Itu yang menurut saya harus diluruskan. Harus dikoreksi bahwa banyak pihak ingin menyelesaikan permasalahan itu. Saya sepakat, tapi penyelesaiannya itu diselesaikan di tempat, waktu, dan cara yang baik," ujarnya.
Pertemuan yang dimediasi Roy Suryo dianggap Rahmad kurang tepat. Ia kembali mempertanyakan pemilihan lokasi dan waktu pertemuan tersebut.
"Itu betul sekali, dari sekian banyak tempat yang bisa dipilih untuk melakukan penyelesaiaan itu dan sekian banyak alternatif waktu, kenapa dipilih sekarang dan di Yogyakarta? Itu menjadi pertanyaan dan itulah yang menjadi perhatian dan concern saya," ungkapnya.
Karena dianggap sudah melanggar pakem Jawa, Rahmad menilai ada muatan lain dari Roy Suryo dalam melakukan mediasi di Yogjakarta. Bila tidak ada muatan apa pun, tentunya budaya yang akan di kedepannkan.
"Muatan itu apa, menurut saya muatan itu politik, dan muatan politik dalam budaya wajar-wajar saja, tapi ketika mengendalikan budaya ditabrak-tabrakan begini itu menurut saya tidak benar, itu harus di koreksi," katanya.
Ia meminta supaya Roy Suryo meminta maaf kepada masyarakat jawa khususnya kepada kraton Yogjakara yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono X.
"Seharusnya Roy Suryo meminta maaf pada masyarakat jawa khususnya kepada kraton Yogjakarta bahwa dia telah melanggar pakem dari trah kerajaan mataram," katanya.
Adapun Roy Suryo dalam jumpa pers Selasa (25/2/2014), mengatakan tidak ada muatan apapun dalam dirinya untuk memediasi konflik di Keraton Solo.
Ihwal pertemuan dilaksanakan di Gedung Agung, Yogyakarta, Roy menyebut hal itu sama dengan bila presiden melakukan pertemuan di Istana Negara saat di Jakarta atau di Istana Cipanas saat di Cianjur. Roy Suryo juga menganggap bahwa bila hal tersebut dilakukan saat ini merupakan sudah garisan yang ditetapkan Tuhan.
"Bukan kebetulan, ini sunatullah, ini sudah garisnya, ini sudah diperintahkan-Nya," ucapnya.
Roy Suryo pun mengakui bahwa dalam penyelesaian sebuah konflik tidak ada yang bisa 100 persen sempurna. Ia pun membantah bila penyelesaian konflik Keraton Solo yang dilakukannya saat ini bermuatan politis.
"Ada warna-warna tidak? Teman-teman tahu apa warna Pak Rudi (Wali kota Solo), Apa warna Pak Ganjar (Gubernur Jawa Tengah)? Apa warna saya? (warna)presiden? Tapi dalam hal ini kami semua satu warna merah putih Indonesia," ungkapnya.