Djonggi Simorangkir: Yang Disomasi SBY Jangan Cengeng, Buktikan Secara Hukum
Iklim demokrasi dan kepastian sistem hukum Indonesia diklaim tetap terjaga karena SBY bertindak atas nama pribadi, bukan sebagai presiden
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Upaya klarifikasi dan somasi yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Tim Advokat dan Konsultan Hukum dirinya dan keluarga dinilai para ahli hukum sebagai langkah pembelajaran positif kepada publik untuk membedakan kritik dan fitnah, serta bagaimana menyampaikan kritik secara santun.
Atas hal itu, iklim demokrasi dan kepastian sistem hukum Indonesia diklaim tetap terjaga karena SBY bertindak atas nama pribadi, bukan sebagai presiden terhadap warga negara.
Ahli hukum Djonggi Simorangkir SH, MH mengungkapkan, dalam konteks demokrasi, perbedaan pendapat dan kritik harus disampaikan dengan menjunjung prinsip kebenaran dan etika publik.
Djonggi mengatakan, pendapat yang tidak benar atau fitnah apalagi disampaikan secara sengaja di hadapan publik dengan maksud mencederai nama baik seseorang, justru melanggar prinsip demokrasi dan merusak kebebasan berpendapat.
“SBY berhak melindungi martabat dirinya dan keluarganya dengan menuntut klarifikasi dari para pihak yang terindikasi melakukan fitnah. Serangan fitnah tanpa bukti seperti itu bisa merusak masa depannya (SBY) setelah tidak menjadi Presiden. Jadi, wajar saja bila SBY menunjuk pengacara agar mewakili dirinya pribadi untuk menghadapi fitnah itu dengan cara yang sesuai hukum,” ujarnya di Bandung, Selasa (25/2/2014).
Djonggi mengatakan, SBY bukan pejabat tinggi Indonesia pertama yang melakukan somasi. Mantan presiden (Alm) Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menugaskan Luhut Pangaribuan SH pada 2001-2002 untuk mewakili dirinya secara pribadi dalam kasus pencemaran nama baik.
Sebagai Presiden RI, Gus Dur dituduh menerima suap milyaran rupiah dari Hutomo Mandala (Tommy) Soeharto untuk memperoleh grasi (pengampunan) dalam kasus korupsi pada 1999. Tetapi, grasi itu tidak pernah dikabulkan oleh Gus Dur.
Menurut Djonggi, setelah mendapatkan somasi (peringatan) dari Tim Advokat dan Konsultan Hukum SBY, pihak-pihak yang disomasi harus berani bertanggung jawab.
“Jangan cengeng, buktikan dong tuduhan-tuduhan yang sudah mereka sampaikan itu. Kalau tidak sanggup, ya harus berani bertanggung jawab atas konsekuensi hukumnya,” tegas Ketua DPP Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia) bidang Hak Asasi Manusia tersebut.
Pendapat serupa disampaikan oleh pakar hukum Prof. Romli Atmasasmita, yang memuji langkah SBY menugaskan pengacara untuk mewakili dirinya dan keluarganya dalam proses hukum.
Dengan menempatkan dirinya sebagai pribadi yang menggunakan hak konstitusional sebagai warga negara, terlepas dari jabatannya sebagai presiden, menurut Romli, SBY juga memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan negara.
Apakah somasi SBY kepada para tokoh itu mematikan demokrasi dan kebebasan berpendapat? “Berlebihan bila mengatakan somasi itu merupakan lonceng kematian demokrasi, somasi itu justru bagus untuk kepastian hukum dalam negara yang demokratis. Dan karena somasi dilakukan atas nama pribadi SBY, yang merupakan hak konstitusionalnya, maka para pihak yang disomasi harus menjawabnya secara tuntas,” kata Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran Bandung tersebut.
Namun demikian, Prof Romi mengakui tidak ada batas waktu bagi pihak-pihak yang disomasi maupun Tim Advokat dan Konsultan Hukum SBY dan Keluarga untuk menyelesaikan masalah sengketa perdata tersebut.