Yang Membangun Infrastruktur di Dunia Maya Saat Ini Akan Menang Di 2019
Philips J Vermonte mengatakan salah satu indikator terpilihnya seorang calon pemimpin adalah dari tingginya lalu lintas kandidat di dunia maya
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips J Vermonte, mengatakan salah satu indikator terpilihnya seorang calon pemimpin adalah dari tingginya lalu lintas pembicaraan yang kandidat di dunia maya.
Dalam pemaparannya di acara pemaparan hasil riset PoliticalWave.com, di warung Komando, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (2/4/2014), ia menyebutkan bahwa trend memanfaatkan dunia maya sudah domulai oleh Al Gore yang kemudian dilanjutkan oleh Barrack Obama pada pemilihan presiden Amerika Serikat 2008 lalu.
Ia menyebutkan Obama memanfaatkan media sosial seperti Twitter dan Facebook untuk menggalang dukungan, hingga mengumpulkan dana untuk kampanye. Indonesia baru mengaplikasikan hal itu pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 lalu. Menjelang pemilihan legislatif (Pileg) 9 April dan Pemilihan Presiden 9 Juni mendatang, para peserta pun melakukan hal yang sama.
"Bayangkan nanti 2019 perkembangan internet akan lebih maju, siapa yang membangun infrastruktur (dunia maya) saat ini, bisa menang juga di (pemilu) 2019," katanya.
Lembaga seperti PoliticalWave.com kata dia telah mengembangkan trend baru, yakni mensurvei percakapan lalu lintas partai politik, calon anggota legislatif (Caleg) mau pun kandidat calon presiden di dunia maya. PoliticalWave.com adalah lembaga yang memprediksi Joko "Jokowi" Widodo - Basuki Tjahaja "Ahok" Purnama menang pada pemilihan gubernur DKI Jakarta, sementara survei konvensional menyebutkan sebaliknya.
Saat ini hampir semua kandidat calon presiden berinvestasi besar di sosial media, begitu pun partai politik. Mereka menjangkau pemilih muda menengah ke atas.
Philips menjelaskan bahwa semarak kampanye di dunia maya telah memberikan alternatif kampanye murah bagi peserta pemilu. Jika sebelumnya media kampanye dilakukan melalui media konvensional, sekarang para peserta bisa memanfaatkan partisipan dunia maya, salah satunya adalah memanfaatkan Buzzer di Twitter.
Philips dalam kesempatan tersebut juga mengkritisi bahwa survei PoliticalWave.com tidak bisa membaca hubungan sebab-akibat atas dua peristiwa. Ia mencontohkan dengan kejadian tawuran warga dan kasus demam berdarah di kecamatan Jatinegara. Walau pun jika dua hal itu terjadi secara bersamaan di tempat yang sama, namun tidak bisa dijelaskan apakah kedua hal itu saling terkait.
"Apa yang dilakukan teman-teman PoliticalWave menangkap bagian dari masyarakat Indonesia yang kritis, yang mungkin mewakili kelas menengah. Persoalannya, pemilik situs (media sosial) ini jangan-jangan tidak pergi ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) nani," tandasnya.