Kronologi Keberatan Pajak Versi BCA yang Jadi Kasus Korupsi
KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengurusan pajak PT Bank Central Asia
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengurusan pajak PT Bank Central Asia (BCA) pada 1999.
Hadi saat menjabat Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kemenkeu pada 2003-2004, diduga menyalahgunakan wewenangnya dengan memerintahkan anak buahnya, Direktur PPH, agar mengubah simpulan risalah kajian keberatan atas transaksi non-performing loan (NPL) atau kredit macet sebesar Rp 5,7 triliun dari 'ditolak' menjadi 'diterima'. Akibatnya, uang setoran pajak Rp 375 miliar yang seharusnya masuk ke kas negara (Ditjen Pajak) tidak terjadi.
Presiden Direktur PT BCA Tbk, Jahja Setiaatmadja meceritakan kronologi proses keberatan pajak pihaknya yang kini menjadi kasus korupsi tersebut dalam jumpa pers di kantornya, Menara BCA, Jakarta, Selasa (22/4/2014).
Mengawali jumpa pers tersebut, Jahja mengatakan bahwa pihaknya sebagai Wajib Pajak telah memenuhi kewajiban dan menjalankan hak sesuai undang-undang dan peraturan perpajakan.
"Berkaitan dengan pemberitaan hal tersebut, maka BCA tidak melanggar undang-undang maupun peraturan perpajakan yang berlaku," kata Jahja.
Jahja menceritakan, keberatan pajak yang berproses ke Ditjen Pajak bermula saat BCA mengalami kerugian fiskal sebesar Rp 29,2 triliun akibat krisis ekonomi di Indonesia pada 1998.
Berdasarkan undang-undang yang berlaku, kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan (tax loss carry forward) mulai tahun pajak berikutnya hingga 5 tahun.
Selanjutnya, sejak 1999, BCA sudah mulai membukukan laba sebesar Rp 174 miliar.
Namun, berdasarkan pemeriksaan pajak tahun 2002, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak telah melakukan koreksi laba fiskal BCA periode 1999 tersebut menjadi sebesar Rp 6,78 triliun.
Dari hitungan BCA, bahwa laba fiskal periode 1999 sebesar Rp 6,78 triliun yang dipakai acuan pihak Ditjen Pajak adalah koreksi terkait transaksi pengalihan aset termasuk jaminan Rp 5,77 triliun yang dilakukan dengan proses jual beli dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN) sesuai Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang Nomor SP-165/BPPN/0600.
Menurut Jahja, jual beli BCA dengan BPPN saat itu sesuai instruksi Menteri Keuangan Nomor 117/KMK.017/1999 dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 31/15/KEP/GBI tertanggal 26 Maret 1998.
"Nah, kami melaksanakan instruksi Menteri Keuangan dan Gubernur BI waktu itu untuk menarikkan aset-aset berupa pinjaman macet, pinjaman-pinjaman yang direstrukturisasi, termasuk agunan atau jaminan, itu semuanya dialihkan ke BPPN sesuai instruksi Menkeu dan Gubernur BI," papar Jahja.
Menurut Jahja, transaksi pengalihan aset ke BPPN itu merupakan jual beli piutang, namun Ditjen Pajak menilainya sebagai transaksi penghapusan piutang macet atau non-performing loan (NPL).
Karena penialaian Ditjen Pajak itu, pada 17 Juni 2003, BCA mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak atas koreksi pajak yang telah dilakukan.
BCA menggunakan jasa konsultan pajak dari Harry Mulyanto untuk seluruh proses keberatan tersebut. "Dia dari dulu konsultan profesional. Jadi, kami sudah memakai dia sejak 1998 sampai sekarang. Sebelumnya kami pakai Arthur Anderson. Tapi, bayarnya mahal, kami waktu 1998 rugi besar begitu, jadi kami pakai konsultan yang lebih terjangkau," jelasnya.
Dan akhirnya keberatan pajak BCA itu dinyatakan diterima sebagaimana SK Nomor KEP-870/PJ.44/2004 tertanggal 18 Juni 2004.
Menurutnya, pada saat berakhirnya masa kompensasi kerugian pajak pada 1998, masih terdapat sisa kompensasi yang belum digunakan sebesar Rp 7,81 triliun.
Oleh karena itu, lanjut Tahja, seandainya keberatan BCA atas koreksi pajak senilai Rp 5,77 triliun ditolak Ditjen Pajak, maka masih terdapat sisa tax loss carry forward yang dapat dikompensasikan sebesar Rp 2,04 triliun. Sisa tax loss carry forward tersebut tidak bisa dipakai lagi atau hangus setelah tahun 2003.
Ia menegaskan, seandainya terjadi penghapusan kredit macet, maka saldo piutang macet itu masih berada pada laporan keuangan BCA. Sementara, setelah terjadi jual beli piutang, seluruh aset piutang berpindah ke BPPN.
"Karena itu sudah dijual, dialihkan ke BPPN, maka hasil penjualan selanjutnya menjadi milik BPPN dan tidak dikenakan pajak karena BPPN adalah badan milik negara. Jadi, bukan pajaknya yang dibayar, tapi seluruh penagihan dipakai oleh BPPN. Dan tidak ada (dana) yang masuk ke BCA dan BCA juga tidak bayar atas income yang diperoleh BPPN," paparnya.
Perlu diingat, kata Jahja, bahwa BCA menjadi perusahaan terbuka pasca-melakukan IPO pada tahun 2000. Dan sebelum itu, BCA telah dinyatakan tax clear, yakni telah melaksanakan kewajiban dan mendapat hak selaku Wajib Pajak.
"Selain itu, bahwa pada 2003, ada bukti dari BPPN menyebutkan bahwa agunan (yang dijual BCA) itu berhasil ditagih Rp 3,29 triliun dan itu tidak diberikan ke BCA karena itu sudah milik BPPN. Kalau misalnya itu piutang macet, maka harus diserahkan ke BCA, namanya recovery. Jadi, itu perbedaan yang saat itu kami kemukakan. Jadi, dari segi peraturan perpajakan, kami merasa benar. Sebab pd 2002, ketika dilakukan koreksi pajak, otomatis kami keberatan karena kami merasa benar," kata dia.