Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

KPK Keluarkan Dana untuk Sewa AC Portable Boediono

Johan Budi mengatakan, pengamanan atas kehadiran Wakil Presiden Boediono di Pengadilan Tipikor itu menjadi tanggung jawab dan koordinasi bersama

Penulis: Abdul Qodir
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in KPK Keluarkan Dana untuk Sewa AC Portable Boediono
Abdul Qodir/Tribunnews.com
Tiga teknisi tengah memasang Air Conditioner (AC) atau pendingin udara di ruang sidang utama lantai 1 Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (7/5/2014). Pemasangan AC dilakukan sebagai persiapan jelang Wakil Presiden Boediono menjadi saksi persidangan kasus Century di tempat itu pada Jumat (9/5/2014). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru bicara KPK, Johan Budi mengatakan, pengamanan atas kehadiran Wakil Presiden Boediono di Pengadilan Tipikor itu menjadi tanggung jawab dan koordinasi bersama antara KPK, Polri dan protokoler wapres.

Mengenai siapa-siapa saja pihak yang boleh menyaksikan dan meliput persidangan ini, Johan mempersilakan untuk berkoordinasi dengan pihak PN Jakpus.

"Khusus teman-teman media, koordinasi ke humas pengadilan. Domain KPK adalah pengamanan di luar persidangan," kata dia.

KPK meminjamkan sejumlah barang seperti kursi-kursi dan sofa terkait kehadiran Boediono di Pengadilan Tipikor. Sementara, pihak KPK harus menyewa untuk 4 unit AC portable dan membeli sejumlah lampu yang dipasang di ruang sidang utama dan ruang tunggu untuk Boediono.

"Saya belum tahu total pengeluarannya. Tapi, pengeluaran cuma sewa AC itu aja," kata Johan.

Menurut Johan, fasilitas tambahan AC portable dan sejumlah kursi atau sofa adalah berdasarkan permintaan pihak pengadilan.

Johan menyatakan, perbedaan fasilitas dan layanan yang diberikan pada Boediono ini tak terlepas karena bagian protokoler wapres. "Pengamanan dari sisi KPK sama. KPK di luar persidangan dengan koordinasi dengan pihak Polri. Kalau yang terkait dalam persidangan, itu domain PN Jakpus yang menaungi Pengadilan Tipikor," kata dia.

Berita Rekomendasi

Dalam dakwaan atas Budi Mulya, nama Boediono disebut berkali-kali karena menjadi Gubernur Bank Indonesia yang memimpin berbagai rapat Dewan Gubernur BI yang memutuskan pemberian FPJP senilai Rp689 miliar yang dilanjutkan dengan Penyetoran modal sementara (PMS) untuk Bank Century senilai Rp6,7 triliun.

Sementara Sri Mulyani pada 2008 adalah Menteri Keuangan yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Stabilias Sistem Keuangan (KSSK) yang memutuskan bahwa Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik. Saat ini Sri Mulyani menjadi Managing Director Bank Dunia yang berkedudukan di Washington DC, Amerika Serikat.

Pada perkara pemberian FPJP, Budi Mulya didakwa bersama-sama dengan Boediono selaku Gubernur BI, Miranda Swaray Goeltom selaku Deputi Dubernur Senior BI, Siti Chalimah Fadjriah selaku Deputi Gubernur bidang 6 Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah, S Budi Rochadi (sudah meningal dunia) selaku Deputi Gubernur bidang 7 Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang, BPR dan Perkreditan, Robert Tantular dan direktur utama Bank Century Hermanus Hasan Muslim dinilai merugikan keuangan negara sebesar Rp689,39 miliar.

Selanjutnya, Budi Mulya bersama sejumlah petinggi BI lainnya dinilai merugikan keuangan negara sebesar Rp6,76 triliun karena menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Kerugian negara disebut memperkaya Budi Mulya sebesar Rp1 miliar, pemegang saham PT Bank Century yaitu Hesham Talaat Mohamed Besheer Alwarraq dan Rafat Ali Rizvi sebesar Rp3,115 triliun, Robert Tantular sebesar Rp2,753 triliun, dan Bank Century sebesar Rp1,581 triliun.

Jaksa KPK mendakwa Budi Mulya dengan dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP; dan dakwaan subsider dari pasal 3 o Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal tersebut mengatur tetang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas