Pidato Pembelaan Boediono di Persidangan Kasus Century
"Dalam krisis 2008 kita menghindari biaya besar yang harus kita bayar seperti dalam krisis 1997-1998 yang lalu," ujarnya.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim memberi kesempatan Wakil Presiden Boediono selaku saksi menyampaikan pidato pembelaan di penghujung persidangan kasus dugaan korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dengan Terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Budi Mulya, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (9/5/2014) malam.
Boediono hadir sebagai saksi sidang perkara Century ini karena saat kebijakan pemberian FPJP sebesar Rp 689 miliar dan dana PMS hingga Rp 6,7 triliun pada 2008 dirinya sebagai Gubernur BI. Hasil audit BPK menyebutkan, kasus ini telah merugikan negara hingga Rp7,4 triliun.
Dalam pidato penutupan kesaksiannya, mulanya Boediono menyampaikan terima kasih kepada majelis hakim karena diberi izin untuk menyampaikan kata-kata terakhir.
Boediono mengaku tujuan memenuhi panggilan sebagai saksi di persidangan itu adalah agar bisa membantu menemukan kebenaran dan menegakan keadilan mengenai kasus Bank Century yang telah menjadi perhatian publik selama lima tahun terakhir.
"Kehadiran saya juga untuk menegaskan, bahwa dalam negara demokrasi kita siapapun mempunyai kedudukan yang sama pada hukum," ujarnya.
Menurut Boediono, sejumlah keterangan yang disampaikan selama proses persidangan kali ini sekaligus untuk meluruskan pandangan yang tidak sesuai fakta yang sempat berkembang di masyarakat selama ini, khususnya mengenai ada atau tidaknya krisi pada akhir 2008 sebelum memutuskan menyelamatkan Bank Century.
Dalam pidato pembelaannya, Boediono kembali mengatakan bahwa dirinya sudah 30 tahun berada di dalam pemerintah dan kerap menangani bidang ekonomi. Boediono selaku Gubernur BI saat itu mengaku tidak ragu sama sekali dalam setiap pengambilan keputusan pemberian FPJP kepada Bank Century yang saat itu kekurangan modal.
Ketidakraguan Boediono karena ia berpegangan alasan, bahwa pada saat itu memang tengah terjadi krisis ekonomi di Amerika Serikat yang dampaknya mulai berimbas terhadap perbankan di Indonesia, termasuk Bank Century.
"Krisis ekonomi itu adalah fakta yang diketahui oleh umum, berbagai indikator keuangan menunjukan keadaan itu, para praktisi perbankan merasakan, pemerintah merasakan dan menerbitkan Perppu (Peraturan Pengganti Undang-undang) dan akhirnya disahkan DPR menjadi Undang-undang," kata Boediono.
"Presiden dan juga wakil presiden mengadakan rapat-rapat yang membahas dampak krisis di Indonesia dan bagaimana menanganinya," imbuhnya.
Boediono mengatakan, saat terjadi krisis global itu, negara-negara tetangga Indonesia yang terkena dampak awal krisis keuangan mempunyai kebijakan jaminan penuh atau blanket guarantee bagi nasabah yang menyimpan dananya di bank. Namun, tidak dengan Indonesia.
Bagi Boediono, untuk antisipasi terkena imbas krisis ekonomi global lebih dalam terhadap perbankan di Indonesia, FPJP dan pemberian dana talangan melalui LPS adalah satu-satunya solusi atas krisis global yang terjadi pada saat itu.
"Krisis ekonomi adalah sebuah bencana, peristiwa di lapangan berjalan sangat cepat, sulit diantisipasi, penanganannya harus cepat, tidak berbeda dalam penanganan tanggap darurat pada bencana alam," ujarnya.
Menurut Boediono, seorang pengambil kebijakan harus bisa segera mengambil sebuah keputusan dan langkah tanggap darurat. Hal itu untuk meminimalisir korban dan kerusakan dan untuk menghindari dampak lebih parah dan biaya lebih besar lagi.