Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Prabowo dan Mapenduma

Banyak cerita yang tidak diceritakan. Banyak fakta yang digelapkan. Lewat bocoran surat DKP, baru sekarang kita tahu bahwa operasi ini tidak.

zoom-in Prabowo dan Mapenduma
TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR
Capres nomor satu, Prabowo Subianto berpidato didepan relawan saat mengunjungi posko koalisi merah putih di Jl Jenderal Sudirman, Makassar, Sulsel, Selasa (17/6). Posko koalisi merah putih merupakan posko bersama tim pemenangan Prabowo - Hatta di Sulsel. TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR 

Benarkah operasi Mapenduma itu seheroik seperti yang sekarang digambarkan? 

Jakarta - Salah satu 'prestasi' yang selalu dibangga-banggakan oleh Prabowo dan konco-konconya adalah soal operasi Mapenduma. Bagi Prabowo, operasi ini dia setarakan dengan operasi Woyla-nya Benny Moerdani. Mapenduma memberikan Prabowo kesempatan untuk 'berprestasi secara militer'. Namun benarkah operasi Mapenduma itu seheroik seperti yang sekarang digambarkan? 

Banyak cerita yang tidak diceritakan. Banyak fakta yang digelapkan. Lewat bocoran surat DKP, baru sekarang kita tahu bahwa operasi ini tidak di bawah kendali Kodam lokal. Juga tidak di bawah kendali komando TNI. Lalu siapa yang mengendalikan? Ya Prabowo sendiri.

Operasi ini adalah salah satu operasi yang paling kejam dalam sejarah pembebasan sandera. Adalah Edmund McWilliams, mantan diplomat Amerika yang bekerja di Jakarta yang pada tahun 1996-1999 menulis tentang Prabowo dan tingkah lakunya di Papua. Saya ringkaskan artikel ini dalam bahasa Indonesia:

"Tahun 1996, 12 peneliti WWF disandera oleh OPM. Lima di antara sandera adalah orang Indonesia. Sisanya orang Inggris, Belanda, dan Jerman. Prabowo memanfaatkan momen pembebasan sandera ini untuk meningkatkan reputasinya di dalam dan di luar negeri. Dia merencanakan pembebasan sandera lewat negosiasi antara dirinya dan para penyandera. Setelah perundingan alot antara Palang Merah Internasional (ICRC) dengan pemimpin penyandera, Kelly Kwalik, akhirnya Kwalik setuju untuk membebaskan semua sandera. Sebagai gantinya, militer Indonesia berjanji tidak akan melakukan pembalasan dan ICRC akan membangun jaringan klinik kesehatan di daerah Mapenduma. 

Namun, kesepakatan ini berantakan pada menit-menit terakhir. Menurut versi tentara Indonesia, yang diamini begitu saja oleh semua kedutaan negara-negara Barat di Jakarta, Kwalik 'berubah pikiran' dan lari dari Desa Geselama, tempat penyerahan sandera. Kemudian terjadilah serangan oleh militer Indonesia ke desa itu yang mengakibatkan tewasnya delapan penduduk sipil. Para sandera akhirnya lari dari penyandera mereka dan berhasil mencapai kamp serdadu Indonesia. 

Namun dalam interview dengan dua pejabat senior ICRC terkuak versi cerita yang sangat berbeda.

Pada malam sebelum penyerahan sandera itu, pejabat ICRC yang terlibat dalam negosiasi itu diundang ke markas Prabowo di Papua. Di sana, Prabowo marah-marah karena iparnya Tutut akan terbang ke Papua untuk menerima penyerahan para sandera. Tutut saat itu adalah Ketua Palang Merah Indonesia. Prabowo mengatakan pada ICRC bahwa tindakan Tutut itu sama dengan merampok hasil kerja dia. Prabowo menekan ICRC untuk menelepon Jakarta agar membatalkan kedatangan Tutut. Pejabat ICRC itu memang akhirnya menelepon Jakarta. Namun apa lacur, Tutut sudah berangkat ke Papua. 

Berita Rekomendasi

Akhirnya Prabowo bergerak dan merombak rencana penyerahan sandera itu. Ini dilakukan dengan mengirim orang yang dipercaya oleh Kwalik, yang memberitahu Kwalik bahwa TNI tidak bisa dipercaya dan Kwalik akan menjadi sasaran operasi militer setelah sandera dibebaskan. Kwalik termakan oleh isu ini. Dan ini pulalah yang menyebabkan Kwalik mengubah pendiriannya. 

Setelah sandera dibebaskan, pasukan Prabowo memang melakukan 'pembersihan' dengan menyerbu Desa Gemalama dan desa-desa sekitarnya. Dia menyerbu dengan helikopter berlambang ICRC.  (penulis: Made Supriatma, peneliti militer) (skj) (Advertorial)

Admin: Sponsored Content
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas