Mantan Hakim Tuding Penyidik KPK Tak Cukup Bukti
Pasti Serefina Sinaga, mantan hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat, menuding penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi kekurangan bukti untuk menjeratnya.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasti Serefina Sinaga, mantan hakim di Pengadilan Tinggi Jawa Barat, menuding penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kekurangan bukti untuk menjeratnya sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara korupsi bantuan sosial (bansos) Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung, Jabar 2009-2010.
Meski begitu, Pasti tetap menjalani proses penahanan selama 20 hari ke depan. "Kurang alat bukti permulaan," kata Pasti kepada wartawan saat petugas KPK memboyongnya ke luar menuju Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, Jumat (8/8/2014) sore. Sebelumya Pasti menjalani pemeriksaan selama enam jam di depan penyidik.
Pasti tak malu menuding penyidik yang tak memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menjeratnya dalam kasus ini. Didampingi pengacaranya Didit Wijayanto, Pasti memastikan akan membuktikannya di persidangan nanti. Selanjutnya ia menyerahkan kepada Didit untuk menjawab pertanyaan wartawan.
Menurut Didit, pengaca dan kliennya tidak menandatangani berita acara penahanan karena sejumlah alasan. Di antaranya, Pasti sama sekali tidak pernah menarima janji atau uang terkait pemulusan tersebut. Selain itu, tak ada uang atau barang yang disita. "Juga tidak ada bukti rekaman yang menyatakan Bu Pasti menerima janji itu," urainya.
Ia mempertanyakan KPK mencantumkan unsur 'bersama-sama' sebagaimana tertuang dalam Pasal 55 KUHP kepada kliennya. Menurutnya tak ada korelasinya Pasti yang berprofesi sebagai hakim di Pengadilan Tinggi dengan hakim Setyabudi Tedjocahyono di Pengadilan Tipikor (tingkat pertama).
"Kalau pasal 12 b kan harus ada hadiah. Apa bentuk hadiah dan janjinya? Alat buktinya mana? Ada uang yang disita atau apa? Atau ada janji? Janji itu bukti rekaman, atau ada yang mengatakan Bu Pasti menerima janji itu. Mana?" kata Didit.
Juru Bicara KPK Johan Budi enggan memanggapi ocehan kubu tersangka. menurutnya, semua akan dibuktikan jaksa penuntut umum di muka persidangan. Terkait penahanan Pasti, kata Johan, itu merupakan kewenangan dan kepentingan penyidik.
Kasus ini bermula dari dugaan suap Setiabudi, hakim Pengadilan Negeri Bandung yang menangani perkara korupsi dana bansos Pemkot Bandung. Kasus ini terbongkar setelah penyidik KPK menangkap tangan pelakunya, Asep Triana dan Setiabudi di PN Kota Bandung, Jumat (22/3/2013). Saat ditangkap, Asep sudah menyerahkan uang kepada Setiabudi di ruangannya.
Penyidik menyita uang tunai Rp150 juta yang ditengarai sebagai suap untuk Setyabudi terkait perkara korupsi dana bansos Pemkot Bandung, termasuk barang bukti Rp 350 juta yang ditemukan di mobil milik Asep. Setelah menangkap keduanya, penyidik KPK ikut mengamankan Herry Nurhayat di kantor Pemkot Bandung.
Sementara Toto Hutagalung, disebut-sebut sebagai pihak pemberi uang suap kepada hakim Setiabudi melalui Asep. Uang suap diberikan agar Setiabudi menjatuhkan putusan pidana rendah para terdakwa kasus korupsi Bansos Pemkot Bandung.
Setelah melakukan pengembangan, penyidik menjerat Dada Rosada, Wali Kota Bandung saat itu dan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Bandung Edi Siswadi sebagai tersangka. Rupanya penyidik mengendus ada hakim lain terlibat. Sejumlah nama muncul seperti Ramlan Comel dan Pasti Serefina Sinaga yang sudah dikenakan status cegah keluar negeri terkait kasus ini.
Menurut informasi, Ramlan merupakan anggota majelis hakim yang memutus perkara korupsi dana bansos di Pemkot Bandung. Dalam surat dakwaan jaksa, hakim Setiabudi menyebut nama-nama hakim lain yang diduga turut menikmati uang dari Dada dan Edi. Hakim Setiabudi menjanjikan Dada dan Edi tak terseret kasus dengan syarat menyerahkan uang Rp 3 miliar.
Setiabudi lalu meminta bantuan Ketua PN Bandung Singgih Budi Prakoso untuk mengamankan kasus korupsi dana bansos di PN Bandung. Budi menyanggupinya, dengan menentukan susunan majelis hakim yang diketuai Setiabudi, yang mendapat 15 ribu dolar Amerika karena jasanya menangani kasus ini. Adapun Singgih konon menerima Rp 500 juta yang diambil di antaranya dari Setiabudi, Ramlan, dan Djodjo.
Di tingkat banding, pengamanan kasus ini diurus mantan Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Jabar Sareh Wiyono. Sareh diduga mengarahkan Pelaksana Tugas PT Jabar CH Kristi Purnamiwulan untuk menentukan majelis hakim. Mereka nantinya menguatkan putusan PN Bandung di tingkat banding. Sareh pun mematok tarif Rp 1,5 miliar kepada Dada. Pesannya ia sampaikan kepada Setiabudi, seperti disampaikan Toto.
Kristi akhirnya menetapkan majelis hakim di tingkat banding yakni Pasti, Fontian Munzil dan Wiwik Widjiastuti. Diketahui, Toto menghubungi Pasti selaku ketua majelis hakim. Dalam surat dakwaan, Pasti meminta Rp 1 miliar guna mengatur persidangan di tingkat banding, dan Rp 850 juta untuk tiga hakim. Dan Kristi menerima sisanya. Pasti meminta uang diserahkan lewat dirinya.
Dalam kesepakatan itu terungkap, Toto telah memberikan Rp 500 juta kepada Pasti. Uang itu berasal dari kantong Dada dan Edi.