Terkenal Sebagai Negara Subur Indonesia Gagal Wujudkan Swasembada Pangan
Ironis! Terkenal sebagai negara subur, Indonesia gagal mewujudkan swasembada pangan.
Editor: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA. Ironis! Terkenal sebagai negara subur, Indonesia gagal mewujudkan swasembada pangan. Lihat saja, data hasil sensus pertanian tahun 2013 yang baru dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), kemarin (12/8/2014).
BPS menyebut, impor pangan Indonesia terus melesat dari tahun ke tahun. Jika tahun 2003, impor pangan baru sebesar US$ 3,34 miliar, maka 10 tahun kemudian atau di tahun 2013 sudah melonjak lebih dari empat kali lipat menjadi US$ 14,90 miliar.
Melesatnya angka impor produk pertanian dipicu antara lain: meningkatnya konsumsi pangan masyarakat Indonesia, naiknya angka kedatangan turis ke Indonesia serta bertambahnya jumlah penduduk Indonesia.
Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional tahun 2012 menyebut: perkiraan jumlah penduduk Indonesia tahun 2013 mencapai 250 juta jiwa, dan tahun 2025 akan tembus 400 juta.
Di sisi lain, "Pertumbuhan produktivitas pangan tumbuh normal," ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo, kemarin. Bahkan, dalam 10 tahun terakhir, juga telah terjadi penyusutan jumlah rumah tangga petani sebesar 500.000 keluarga per tahun.
Tak pelak, kondisi ini membuat impor produk hortikultura meruyak. Ambil contoh impor sayuran. BPS mencatat, impor sayuran di 2013 mencapai US$ 640,76 juta. Nilai ini naik 27,24% dibanding 2012 yang masih US$ 503,59 juta.
Impor sayuran dari Tiong kok menduduki posisi tertinggi dengan nilai US$ 423,95 juta. "Impor sayur dari China yang naik tajam adalah bawang putih, wortel," tandas Sasmito, Selasa (12/8).
Celakanya, kenaikan impor pangan sulit terbendung lantaran mendakinya konsumsi dan jumlah penduduk. "Pemerintah tak siap imbangi permintaan pangan penduduk," ujar Khudori, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia.
Menurut Khudori, gagalnya program swasembada pangan bukan semata-mata kesalahan Kementerian Pertanian. "Kemtan hanya berperan 30%, sisanya peran menteri lain, seperti perdagangan, perindustrian dan lain-lain," kata dia.
Tak ada pilihan: pemerintah harus turun tangan, yakni dengan fokus membuat kebijakan pro pertanian. Produksi pangan harus digenjot dengan menambah lahan pertanian.
Tentu dengan segera berakhirnya masa Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, adalah pemerintah baru kelak harus bisa menangani laju impor dan mendongkrak produktivitas pangan. (KONTAN/ Margareta Engge Kharismawati, Widyasari Ginting )