Pemilihan Kepala Daerah Lewat DPRD Langgar Konstitusi
mekanisme tersebut tidak sesuai dengan sistem dan bentuk pemerintahan Indonesia yakni presidensial dan negara kesatuan
Penulis: Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Pemilu, Ramlan Surbakti, mengatakan pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah kepada DPRD adalah bentuk penyelewengan terhadap UUD 1945.
Menurut Ramlan, mekanisme tersebut tidak sesuai dengan sistem dan bentuk pemerintahan Indonesia yakni presidensial dan negara kesatuan.
Ramlan mengingatkan, mekanisme pemilihan kepala daerah tidak boleh hanya mendasarkan pada Pasal 18 ayat (4) yang mengatakan pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis.
"Harus dilihat secara keseluruhan dimulai dari bentuk negara kita republik. Artinya kepala negara presiden. Ia dipilih. Bentuk pemerintahan kita presidensial. Itu berarti kepala negara dan kepala pemerintahan dirangkap presiden yang dipilih rakyat," ujar Ramlan dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Jumat (4/9/2014).
Kedua, lanjut Ramlan, bentuk Indonesia adalah negara kesatuan dengan pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada provinsi, kabupaten/kota. Indonesia tidak menganut negara kesatuan yang sentralistik.
Pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya yakni kewenangan daerah otonom untuk mengurus pemerintahan yang sangat luas. Maka dibentuk DPRD dan kepala daerah untuk mengurusinya.
Jika ada pemisahan mekanisme pemilihan DPRD dan kepala daerah itu akan menyebabkan permasalahan. Dalam hal ini DPRD dipilih secara langsung sementara kepala daerah melalui pemilihan demokratis melalui DPRD.
Untuk itulah setelah amandemen UUD 1945 pasal 6 menyebutkan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung setelah sebelumnya dipilih di MPR. Dengan perubahan tersebut, pemilihan kepala daerah juga harus mengikuti mekanisme nasional.
"Jadi kalau bentuk pemerintahan presidensial dan karena kita ini negara kesatuan otonom seluas-luasnya maka kepala daerah harus melaui Pemilu. Itu yang benar. Kalau sekarang dipilih DPRD itu kemunduran, kita gunakan pemerintahan parlementer," tukas bekas ketua KPU itu.