Rakyat Bisa Boikot Usulan Kepala Daerah Dipilih DPRD Secara Nasional
Rencana ini dianggap sebagai penghianatan terhadap hasil reformasi.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana keinginan mayoritas fraksi di DPR yang ingin mengubah mekanisme pemilihan kepada daerah melalui mekanisme dipilih DPRD terus mendapat tanggapan. Rencana ini dianggap sebagai penghianatan terhadap hasil reformasi.
"Pemilihan kepala daerah melalui mekanisme dipilih DPRD, itu sama saja menghianati demokrasi, menghianati semangat reformasi. Karena hasil reformasi, menghasilkan UU Pilkada dan itu merupakan tafsir dari UUD 1945 yang sudah diamandemen," kata politisi PDI Perjuangan, Tubagus Hasanuddin, Kamis (11/9/2014).
"Itu, (produk UU Pilkada) adalah kesepakatan nasional, UU pilkada yang dibuat itu, adalah bagian refomasi. Jangan kemudian berbelit-belit lagi dengan mengatakan pemilihan kepala daerah melalui mekanisme DPRD dikatakan sesuai dengan UUD 1945," tegasnya
Mantan Sekretaris militer kembali mengungkap alasannya tak sepakat dengan usulan pemilihan kepada daerah dipilih DPRD. Kalau cara akan dilakukan, menurutnya, sama saja dengan penghianatan terhadap konsituen.
Tubagus Hasanuddin kemudian mencontohkan proses pemilihan legislatif pada tingkat kabupaten yang kemudian menghasilkan para wakil rakyat dari beberapa partai politik. Misalnya, dalam kabupaten yang dimaksud warga yang memiliki hak pilih, satu hingga dua juta orang.
"Kemudian, ada sekitar lima puluh caleg terpilih dengan jumlah suara didapat, berbeda-beda, dari masing-masing partai politik. Kalau dirata-rata, sekitar lima ribu sampai delapan ribu suara untuk meloloskan para wakil rakyat," paparnya.
"Kita ambil rata -rata kalau delapan ribu suara dikalikan 50 (caleg terpilih), hanya empat ratus ribu suara untuk seluruh caleg terpilih, sementara sisanya tak tertampung, suara bagi para caleg yang tidak terpilih," jelasnya lagi.
Dengan argumentasi itu, bila mekanisme pemilihan melalui DPRD, sama saja mengabaikan suara rakyat secara keseluruhan dalam satu daerah pemilihan. Tubagus Hasanuddin kemudian menyebut sebuah penghianatan karena DPRD tak berhak mewakili suara rakyat secara keseluruhan.
"Dan rakyat berhak memboiokot kalau nanti pemilihan melalui DPRD dilakukan, dan para caleg gagal juga berhak memboikot karena tidak merasa diwakilkan oleh mereka yang terpilih. Dan ada baiknya gerakan pemboikotan dilakukan secara nasional atas rencana itu," pungkas Tubagus Hasanuddin.
Hingga saat ini, pembahasan RUU Pilkada berlangsung alot. Salah satunya mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah. Dikutip dari Kompas.com, berdasarkan hasil rapat Panja RUU Pilkada, Selasa (9/9 2014), fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih ingin agar kepala daerah dipilih oleh DPRD seperti zaman Orde Baru dengan berbagai alasan.
PDI-P, Hanura, dan PKB yang meminta kepala daerah dipilih secara langsung.
Mengenai sistemnya, Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PPP, PAN, dan PDI Perjuangan mengusulkan agar calon yang maju dalam pilkada tidak diusung dalam satu paket.
Opsinya, adalah calon wakil kepala daerah bisa berasal dari pegawai negeri sipil (PNS), dari partai politik, kalangan profesional, atau sesuai dengan UU Aparatur Sipil Negara.
Sementara itu, Fraksi PKS, PKB, Gerindra dan Hanura mengusulkan calon yang maju di pilkada diusung dalam satu paket.
Untuk penyelesaian sengketa hasil pilkada, mayoritas fraksi di DPR mengusulkan sengketa tersebut ditangani oleh Mahkamah Agung.
Hanya Fraksi PKB dan Hanura yang mengusulkan sengketa hasil pilkada diselesaikan di Mahkamah Konstitusi dan Fraksi Partai Gerindra mengusulkan sengketa hasil pilkada melalui PTUN.
Untuk anggaran penyelenggaraan pilkada, Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PAN, dan Gerindra mengusulkan penyelenggaraan pilkada dibebankan pada APBN. Sementara itu, Fraksi PDI-P, PKS, PPP, PKB, dan Hanura mengusulkan penyelenggaraan pilkada dibebankan pada APBD.
Setelah disepakati di tingkat panja, rumusan akan ditetapkan pada 23 September 2014 di tingkat komisi bersama Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, hasil keputusannya akan dibawa ke tingkat II untuk diputuskan dalam rapat paripurna DPR pada 25 September 2014.