UU Pilkada dalam Kevakuman
dianggap serius jika Fraksi Demokrat mendukung persetujuan Perppu No 1 Tahun 2014 dan Perppu No 2 Tahun 2014 dalam Sidang Paripurna DPR RI.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah menerima banjir kritik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada Tidak Langsung dan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Presiden juga menerbitkan Perpu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Kamis (2/10).
Ketua Laskar Dewaruci, Mochtar Mohamad menilai langkah Presiden SBY–yang juga Ketua Umum Partai Demokrat tersebut–seperti dua mata pisau; serius dan cuci tangan.
Hal ini bisa dianggap serius jika Fraksi Demokrat mendukung persetujuan Perppu No 1 Tahun 2014 dan Perppu No 2 Tahun 2014 dalam Sidang Paripurna DPR RI.
"Kita apresiasi langkah SBY, tapi nanti bisa dibuktikan keseriusannya di Sidang Paripurna DPR. Sebab, seluruh rakyat Indonesia sudah menyaksikan drama politik yang dilakukan Fraksi Demokrat saat Walkout pada Paripurna penetapan UU Pilkada beberapa waktu lalu," tegas Mochtar, Jumat (3/10/2014).
Di sisi lain, kata Mochtar, terbitnya 2 Perppu tersebut merupakan skenario cuci tangan SBY. Inisiatif lahirnya UU Pilkada Tidak Langsung tersebut berasal dari pemerintah, apalagi jika nanti Perppu yang diajukan Presiden kembali kandas pada Paripurna DPR RI.
Dijelaskan Mochtar, dalam UUD 1945 ayat 1 disebutkan; Dalam hal Ikhwal kegentingan yang memaksa,Presiden berhak menetapkan peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang undang.
Dalam Ayat 2, disebutkan juga; Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikutnya.
Dan Ayat ke-3 menyebutkan; Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan pemerintah itu harus dicabut.
"Jika melihat UUD 1945 Pasal 22 ayat 2, maka bisa ditafsirkan bahwa Perppu baru berlaku setelah mendapat persetujuan dari DPR RI. Kemudian, jika merujuk UUD 1945 Pasal 22 ayat 3, Perppu tersebut harus dicabut jika tidak mendapatkan persetujuan DPR RI," kata Mochtar.
Presiden, saat menerbitkan Perppu tersebut, seolah-olah menggagap bahwa aturan itu sudah berlaku. Padahal, Perpuu tersebut belum disetujui DPR RI.
SBY, katanya lagi, bahkan mengatakan dengan tegas mencabut UU nomor 22 Tahun 2014 DAN UU 23 tahun 2014 tentang Pilkada.
"Di sini terjadi ambivalen status berlaku antara Pasal 22 Ayat 1 dengan Pasal 22 Ayat 2. Di satu sisi, Presiden memiliki hak menerbitkan Perppu dalam hal genting. Namun di sisi lain, ia tetap harus mendapat persetujuan DPR," lanjutnya.
Dari gambaran di atas, kata Mochar, bisa ditafsirkan hari ini terjadi Kevakuman UU Pilkada.
Implikasinya bahkan sudah mulai bisa dirasakan. Di Jawa Tengah, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat menghentikan sementara seluruh tahapan Pilkada yang akan digelar di 17 Kota/Kabupaten pada tahun 2015 mendatang.
"Semua masalah tersebut menjadi indikasi krisis Konstitusi yang dialami Indonesia saat ini. Rapuhnya bangunan konstitusi kita disebabkan karena adanya amendemen UUD 1945," pungkas Mochtar Muhammad.