Ceu Popong: Memimpin Rapat Itu Seperti Polisi Lalu Lintas
Ceu Popong mengakui dirinya sengaja tetap menyampaikan materi acara rapat dan tak menghiraukan teriakan permintaan interupsi
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ceu Popong mengakui dirinya sengaja tetap menyampaikan materi acara rapat dan tak menghiraukan teriakan permintaan interupsi dari sejumlah anggota DPR pendukung KIH Jokowi-JK.
Sebab, saat itu peserta rapat yang mengajukan interupsi ia anggap tanpa mengikuti aturan.
"Setiap sidang itu ada tata tertib, ada aturannya. Aturannya antara lain, kita harus concern kepada mata acara, jangan ngacau ke mana-mana. Kedua, interupsi boleh-boleh saja, tapi interupsi yang seperti apa dan kapan bisa disampaikan. Interupsi bisa dilakukan kalau begini dan begitu, ada aturannya," ujarnya.
Popong menjadi pimpinan sidang sementara sesuai dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 01/Peng/KPU/Tahun 2014. Ia lahir di Bandung, 30 Desember 1938 (76 tahun).
Politisi Partai Golkar yang berasal dari Dapil Jawa Barat I bernama lengkap Otong Otje Djundjunan ini adalah anggota DPR tertua. Ia memimpin rapat perdana untuk 560 anggota baru DPR di Gedung DPR, Jakarta pada 1 hingga 2 Oktober 2014.
Popong ditemani oleh politisi termuda, Ade Rezki Pratama. Ade lahir di Bukittinggi, 8 November 1988 (hampir 26 tahun). Ade diusung Partai Gerindra dari Dapil Sumatera Barat II.
Popong mengaku bingung dengan tuduhan otoriter saat memimpin sidang paripurna untuk memutuskan unsur pimpinan DPR kala itu. Ia merasa hanya menjalankan tugas pimpinan sementara sesuai mata acara dan aturan tatib rapat.
"Kalau saya disebut otoriter, harus tahu ada aturannya menyampaikan interupsi. Bukannya tidak boleh interupsi, tapi ada aturannya. Kalau interupsinya seperti kemarin, yang satu interupsi ngomong tapi belum selesai, yang lain ikut ngomong, begitu terus. Bagaimana saya menjawabnya? Yah sudah saya tidak dengar," paparnya.
Menurutnya, dirinya selaku pimpinan tidak bisa memenuhi seluruh permintaan interupsi beberapa peserta rapat secara bersamaan. Sebab, hal itu akan menghabiskan waktu banyak.
"Kalau misalnya saya ikuti dan layani semua interupsi, maka rapat dua hari saja belum tentu selesai. Kalau dua hari, lalu berapa biaya rapatnya? Kan seharusnya biaya rapat itu harus selesai malam itu. Kecuali saat rapat itu ada yang misalnya ada yang meninggalkan mendadak," ujarnya lagi.
Popong pun pasrah jika kepemimpinan rapatnya itu disebut sebagai penzaliman dan ketidakadilan anggota DPR peserta rapat.
"Yah itu lah seperti yang tadi katakan. Teknis yang membuat saya berbuat begitu. Kalau saya ladenin semua, maka rapat tidak akan selesai."
Jadi, Anda terpaksa mengabaikan interupsi anggota DPR KIH Jokowi-JK?
"Artinya kita harus membaca situasi. Kalau interupsi yah satu per satu. Kemarin kan kalian bisa lihat sendiri. Walaupun sudah saya bilang duduk, duduk dulu! Eh, pada merangsek ke depan. Kata Gus Dur mah, kunaon ciga (kenapa seperti) Taman Kanak-kanak? Kenapa sampai merangsek ke depan," selorohnya.
Menurut Popong, sikap kekanak-kanakan para anggota DPR yang tidak mentaati aturan juga tampak saat pembacaan susunan fraksi.
Ia pun terpaksa meminta anggota DPR untuk turun dari podium karena justru membacakan hal lain selain mata acara tersebut.
Popong mengaku harus tegas agar dirinya bisa menyelesaikan mata acara rapat kendati langkahnya itu dinilai otoriter.
"Jadi, ini memimpin rapat itu seperti polisi lalu lintas, nggak boleh ke sana, nggak boleh ke sini, nggak boleh berhenti, boleh berhenti. Kalau suasananya seperti kemarin malam, yah saya sebagai pimpinan harus bisa jadi pimpinan," ujarnya.