Perppu Pilkada Dinilai Pencitraan dari Sikap Ambivalen SBY
Ari mengatakan karena publik melihat ambivalensi sikap saat pengambilan keputusan soal RUU Pilkada sebelumnya
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik UGM, Ari Dwipayana, menilai langkah presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengeluarkan Perppu Pilkada belum cukup karena Perppu akan bisa menjadi UU jika disetujui oleh DPR.
"Oleh karena itu, konsistensi sikap SBY untuk mendukung Pilkada langsung harus diuji lagi dalam proses politik di DPR, terutama terkait dengan posisi Partai Demokrat dan partai partai lain di koalisi Prabowo," kata Ari ketika dikonfirmasi pers, Minggu (5/10/2014).
Mengapa sikap SBY perlu diuji konsistensinya? Ari mengatakan karena publik melihat ambivalensi sikap saat pengambilan keputusan soal RUU Pilkada sebelumnya.
Dikatakan dalam proses politik di DPR saat itu, SBY sesungguhnya punya dua kaki yakni satu kaki diwakili oleh Mendagri.
"Dalam posisi itu, Mendagri sesungguhnya bisa ambil posisi tidak memberikan persetujuan bersama sesuai hak konstitusional Presiden," kata Ari.
Adapun kaki kedua Partai Demokrat, menurut Ari, sebagai ketua umum Demokrat SBY sebenarnya bisa menginstruksikan fraksi Demokrat di DPR untuk mendukung pilkada langsung.
"Berpijak dari pengalaman itu. Konsistensi untuk dukung pilkada langsung harus terlihat dari posisi Partai Demokrat di DPR dan apa yang dilakukan SBY untuk mendekati partai yang selama ini dukung pilkada oleh DPRD," kata Ari.
Ditegaskan kecurigaan publik bahwa ada transaksi politik dibalik proses RUU Pilkada tidak bisa dihindari karena beberapa indikasi.
Indikasi pertama, menurut Ari, kemarahan SBY saat merespon sikap walkout (WO) fraksi Demokrat dalam rapat paripurna DPR tidak berlanjut dengan sanski bagi inisiator WO.
"Hal itu memperbesar kecurigaan bahwa apa yang terjadi hanyalah drama," kata Ari.
Indikasi kedua, lanjut Ari, tidak ada instruksi pada Mendagri untuk bersikap tegas tolak pilkada DPRD. Selain itu, Pemerintah melalui jubir Presiden menerima apapun kepusan DPR.
Indikasi ketiga, kata Ari, Partai Demokrat mengambil posisi mendukung usulan paket pimpinan Koalisi Prabowo yang memberi konsensi pada Partai Demokrat dalam posisi wakil ketua dan pimpinan alat kelengkapan lain.
"Tiga hal itu merupakan rangkaian peristiwa yang tidak berdiri sendiri," ujarnya.
Menurutnya ketika SBY lepas tangan dalam proses politik di DPR terkait dengan Perppu maka ini akan dilihat sebagai upaya selamatkan muka dari protes dan kemarahan publik, dan hanya menyerahkan lagi pada proses politik di DPR.
"Di satu sisi SBY telah berhasil memulihkan citra dengan Perppu. Terutama menjelang ajang Bali Democracy Forum. Tapi disisi lain, SBY masih harus dibuktikan lagi konsistensi dengan melihat apa yang dilakukannya di DPR terutama dalam menghadapi fraksi pendukung pilkada DPRD," katanya.
Jika lepas tangan lagi, menurut Ari, maka sama saja ini semacam buying time demi pecitraan di akhir masa jabatan.
Sebagai catatan kekuatan partai Demokrat di DPR sudah berkurang dibandingkan DPR 2009-2014. Saat itu suara Demokrat dalam voting DPR saat menentukan. Tapi saat ini di DPR kekuatan kursi Demokrat jauh berkurang hanya 61 kursi.
"Kalau dijumlah koalisi pendukung pilkada langsung hanya 208, ditambah Partai Demokrat, maka hanya 269 suara. Belum sampai setengah plus satu. Diperlukan tambahan 12 suara lagi. Ini artinya diperlukan dukungan minimal satu fraksi di koalisi Prabowo," kata Ari.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.