Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Saling Tuding Pembuat Gaduh, Politisi PAN dan Hanura Sewot

Sebetulnya tidak perlu terjadi kegaduhan kalau semua pihak baik Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat

Penulis: Adi Suhendi
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Saling Tuding Pembuat Gaduh, Politisi PAN dan Hanura Sewot
TRIBUN/DANY PERMANA
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari anggota DPR dan DPD saling bersitegang dalam sidang Paripurna pemilihan pimpinan MPR di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/10/2014). Anggota MPR tersebut saling bersitegang terkait perwakilan calon pimpinan MPR yang diusung oleh masing-masing kelompok. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto dan Politisi Partai Hanura Erik Satrya Wardana sempat sewot dalam dialog Polemik bertema 'Bukan Parlemen Biasa' di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (11/10/2014).

Awalnya Yandri berbicara mengenai kegaduhan yang terjadi di Senayan saat pemilihan pimpinan DPR dan MPR RI.

"Sebetulnya tidak perlu terjadi kegaduhan kalau semua pihak baik Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat dalam menduduki posisi penting di DPR tunduk dan patuh terhadap Undang-undang yang ada," ungkapnya.

Dilanjutkan dia, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang diputus sebelum pelantikan DPR dan MPR RI bersifat final dan mengikat. Tetapi kenapa dalam implementasi undang-undang itu jadi gaduh dikarenakan ada pihak yang tidak rela.

"Sebenarnya kalau PDIP dan kawan-kawan paham dengan Undang-undang ini harus kita patuhi sebenarnya, tidak perlu gaduh seperti kemarin," ungkapnya.

Mendengar pernyataan tersebut, Erik langsung berkomentar. Ia melihat dalam proses pembuatan UU MD3 suasana dalam keadaan emosional setelah Pemilihan Presiden. Hal tersebut yang membuat undang-undang dibuat kental dengan muatan syahwat kekuasaan.

"Ini ada Undang-undang yang dirumuskan pada saat situasi emosional masih begitu tinggi, dendam masih ada, syahwat kekuasaan masih mempengaruhi itu. Kalau ada undang-undang yang dibuat dalam situasi ini sama saja menurut saya itu pelembagaan syahwat kekuasaan. Itulah yang menjadi masaalah Undang-undang MD3," ungkapnya.

Berita Rekomendasi

Permasalahan undang-undang tersebut dikhawatirkan Erik akan menjadi permasalahn yang terus menerus serta tidak akan menuntun perbaikan tapi akan menuntun penyesatan.

Yandri pun merespon pernyataan yang dilontarkan Erik, ia mengakui pembuatan undang-undang tersebut memang situasinya kurang pas karena masih dalam suasana pertarungan. Tetapi hal tersebut sudah diakomodir dengan adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi meskipun akhirnya ditolak.

"Karena itu ketika undang-undang final dan mengikat saya kira itu artinya kita harus tunduk dan patuh, tidak ada lagi istilah dendam mapun haus kekuasaan," ungkapnya.

Tidak puas dengan pernyataan Yandri, Erik menegaskan bahwa yang diperbincangkan adalah syahwat kekuasaan moralitas.

Tapi hal tersebut kembali ditimpali Yandri.

"Yah tidak apa-apa Bang Erick. ‎Intinya sudah final dan mengikat sudah ditolak artinya undang-undang itu harus berlaku, harus mengikuti aturan main. Tidak mungkin parlemen maupun KIH membuat format sendiri di luar UU MD3," ungkapnya.

Yandri mengingatkan bila sebaiknya KIH lebih baik memperbaiki cara komunikasinya, tampilannya. "Kalau misalkan kalah ya kalah terhormat, tidak membuat gaduh, bikin dollar naik. Menurut saya yang bikin dollar naik KIH bukan KMP karena terlalu gaduh," ungkapnya.

Erik kembali menanggapi pernyataan Yandri. " Kita kalah di MPR tidak ngambek, karena tidak ada politicking disitu, prosesnya berjalan dengan baik. DPR karena ada politicking, akal-akalan di sidang, itu kemudian membuat marah," ungkapnya sementara Yandri hanya tertawa.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas