Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Program Keluarga Berencana Salah Kaprah

"Dulu BKKBN bilang, kalau punya dua anak, keluarga akan hidup bahagia. Ternyata enggak seperti itu."

Penulis: Rahmat Patutie
Editor: Y Gustaman
zoom-in Program Keluarga Berencana Salah Kaprah
Tribun Jateng/Wahyu Sulistiyawan
Para pemudik tiba di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Jateng, menggunakan Kapal Motor (KM) Dharma Kartika III, Selasa (30/7/2013). Arus mudik lebaran masih relatif sepi. Keramaian arus mudik diprediksikan terjadi pada H-7 lebaran. (TRIBUN JATENG/WAHYU SULISTYAWAN) 

Mereka yang Berpeluang Jadi Pembantu Jokowi-JK (7)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan Sonny Harry Budiutomo Harmadi berpendapat, pemerintahan masa lalu keliru menjalankan program kependudukan.

Dalam hal urusan membatasi kelahiran dengan program keluarga berencana misalnya. Dulu, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) gencar sosialisasi KB bersemboyan, 'Dua anak cukup' hidup keluarga akan lebih baik. Faktanya, banyak keluarga dengan dua, hidupnya tidak otomatis bahagia, sejahtera.

"Jangan seperti masa lalu. Dulu BKKBN bilang, kalau punya dua anak, keluarga akan hidup bahagia. Ternyata enggak seperti itu. Jumlah anak sudah turun, kesejahteraan tidak meningkat signifikan," tutur Sonny, yang namanya disebut-sebut masuk nominee calon menteri kependudukan pada pemerintahan Jokowi-JK.

Menurut Sonny, sebaiknya program jangan membuat jebakan. Dan di satu sisi, masyarakat pun harus membalik paradigmanya. Dalam hal pengendalian jumlah penduduk, program harus berdasar pada kesadaran penduduk, bukan kepentingan pemerintah semata.

Lalu negara tak perlu memaksa rakyatnya untuk membatasi angka kelahiran. "Semua harus dari kesadaran masyarakat," kata Sonny, laki-laki keahiran Mandai, Maros, Sulawesi Selatan, 20 Mei 1975.

Supaya kesadaran itu muncul, harus ada transfer pengetahuan tentang konsekuensi-konsekuensi jika tidak membatasi angka kelahiran.

BERITA REKOMENDASI

Pembatasan kelahiran itu menjadi kebutuhannya masyarakat, bukan kepentingan negara. Intinya masyarakat harus sadar, kalau dia punya banyak anak, ada konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggungnya.

Menurut Sonny, pada angkatan kerja saat ini, mereka yang berpendidikan SD ke bawah, jumlahnya sekitar 47 persen. Dalam bahasa lain, dari setiap lulusan SD, hanya satu orang yang bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. "Itu data!" kata Sonny, dosen tetap Departemen Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sonny menilai asupan gizi pada balita di Indonesia masih rendah. Sekitar sepertiga balita di Indonesia memiliki masalah kekurangan gizi. Kondisi ini terjadi bukan semata-mata pada daya beli makanan bergizi namun juga pada pengetahuan. Masih ada penduduk yang tidak tahu makanan bergizi dan yang tidak bergizi.

"Makan itu mempengaruhi kualitas seseorang di kemudian hari. Makan bukan sekadar kenyang, tapi juga harus makan yang bagus untuk pembentukan otak. Kalau sel otaknya tidak penuh, sudah jadi pintar," kata Sonny.

Tantangan bagi menteri kependudukan, kata Sonny, antara lain adalah harus dapat mensinkronisasi, mengintegrasi, dan mengharmonisasi data kependudukan dan data keluarga. Revolusi mental yang diajukan Jokowi adalah mental penduduk. Mental penduduk itu bisa lebih baik kalau dibangun dari warga. Mental itu pembentukannya di tingkat keluarga.


Tugas lain kementerian kependudukan adalah membuat peraturan terkait masalah kependudukan serta mengadvokasi kementerian lain dalam rangka optimalisasi bonus demografi. Kementerian kependudukan juga harus mengambil peran strategis dalam memberikan data kependudukan agar presiden bisa mengambil langkah yang tepat.

Sonny yang saat ini menjabat Kepala Lembaga Demografi UI, untuk periode kedua, sangat memahami masalah di sektor kependudukan. Lulusan Jurusan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya, tahun 1997 ini pun pernah memberikan masukan kepada tim Jokowi tentang isu-isu kependudukan.

Sonny menjadi dosen di Universitas Indonesia sejak tahun 2002. Pria kelahiran Maros, Sulawesi Selatan, 20 Mei 1975 ini mengajar mata kuliah makro ekonomi lanjutan. Sejak tahun 2005, Sonny juga menjadi peneliti di Lembaga Demografi UI. Empat tahun kemudian, Sonny terpilih menjadi Ketua Lembaga Demografi UI.

Sonny menegaskan, ia siap membantu presiden bukan hanya dalam mengidentifikasi masalah, namun juga untuk menemukan jalan keluarnya. Contoh solusi yang dipikirkan Sonny atas berbagai masalah di Indonesia saat ini antara lain adalah mendirikan sekolah bagi warga usia 30-40 tahun yang latar belakang pendidikannya minim atau tidak lulus SD. Tenaga kerja Indonesia juga memiliki kekurangan pada penguasaan keterampilan seperti bahasa Inggris, komputer, dan kewirausahaan.

Sonny juga pemikiran untuk mengusulkan supaya SD dan SMP digabung saja. Hal tersebut akan membantu para orangtua murid agar tidak kerepotan mencarikan sekolah bagi anaknya yang baru lulus SD. "Kalau SD dan SMP digabung kan tinggal pindah kelas tanpa pindah sekolah. Itu solusi konkrit," ujarnya.

Sonny mengatakan, semua program pemerintah sebaiknya didasarkan pada data kependudukan tunggal. Program sebagus apapun, akan lebih optimal jika didudukung data kependukan. Menurutnya hampir semua kementerian membutuhkan data penduduk. "Kementerian kesehatan, kementerian pertanian, kementerian energi, semuanya membutuhkan data penduduk," jelasnya. (Tribunnews.com, Rahmat Patutie)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas