Puspa Yoga: Saya Tak Pantas Jadi Menteri Jokowi
Menolak posisi terhormat sebagai menteri dalam kabinet Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla? Rasanya hampir mustahil. Tapi itu terjadi
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menolak posisi terhormat sebagai menteri dalam kabinet Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla? Rasanya hampir mustahil bagi kebanyakan orang. Tapi itu yang terjadi, bila kesempatan langka itu datang ke Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga.
Apa alasannya? Bagi Puspayoga, jargon 'Revolusi Mental' yang didengungkan pasangan Jokowi-JK saat kampanye Pemilihan Presiden lalu harus benar-benar diterapkan, termasuk saat momentum pemilihan bakal calon menteri.
"Sebaiknya diambil dari kalangan profesional. Bisa dari kampus, bisa dari partai politik, bisa dari praktisi. Terserah, yang penting menguasai bidang. Saya? Saya tak pantas jadi menteri. Saya tak menguasai bidang pariwisata," kata Puspayoga, Sabtu (18/10/2014) silam.
Nama Puspayoga disebut-sebut masuk dalam bursa bakal calon menteri kabinet Presiden Jokowi di posisi Menteri Pariwisata. Kedekatannya dengan pimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ditambah faktor representasi warga Bali, disebutkan jadi pertimbangan nama lulusan S1 di Universitas Ngurah Rai, Denpasar tahun 1991 itu masuk dalam bursa bakal calon menteri.
Jika bisa memilih posisi menteri, masih maukah Puspayoga menerima pinangan itu? Posisi menteri apa yang ia kehendaki? Lagi-lagi Puspayoga menolak. Secara terang ia menyebut tak memiliki niat jadi menteri apapun.
"Profesionalitas yang harus dimajukan, bukan soal kedekatan. Saya tak berniat jadi menteri. Biarlah posisi-posisi itu diambil oleh orang yang memang menguasai bidang masing-masing," ujarnya.
Soal kedekatan dengan petinggi PDIP yang jadi partai pengusung Jokowi, Puspayoga tak menampiknya. Ia menyebut telah menjadi kader dan pengurus partai di Bali sejak remaja.
Ayahnya, Cok Sayoga adalah Ketua DPD PDI Bali diperiode 1980-an. Puspayoga bahkan menuturkan, keluarganya sudah memiliki keakraban dengan almarhum Taufik Kiemas dan Megawati Soekarnoputri sejak lama.
"Sejak tahun 1987 sampai sekarang pun masih. Ibu kan kerap berkunjung ke Bali. Jika ibu datang, saya yang menjemput. Kan mobil ibu diparkir di rumah saya," kata Puspayoga.
Ada dua mobil yang menjadi tanggung jawab perawatan buat Puspayoga. Tapi ia membantah, jika akomodasi Megawati pun menjadi tanggungannya saat berkunjung ke pulau Dewata. Wajar jika kedekatan antara Mega dan Puspayoga terjalin erat.
Mega pernah menyebut Puspayoga sebagai anak kandung PDIP saat wali kota Denpasar periode 2000-2005 dan 2005-2008 itu bertarung dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali tahun 2013 melawan pasangan I Mangku Pastika dan Ketut Sudikerta.
Soal istilah 'anak kandung PDIP', ada cerita menarik bagaimana Puspayoga pernah bertaruh nyawa untuk membesarkan partai tersebut. Ia pernah dikeroyok sejumlah pria usai menjalankan tugas yang diberikan sang ayah.
Kala itu, medio Juli 1982, Puspayoga masih duduk di bangku kelas III SMP. Sang ayah memintanya menjadi salah-satu saksi partai pada pemilihan umum.
Lokasinya di asrama Brimob Polda Bali yang bersebelahan dengan GOR Ngurah Rai. Tugas itu ia jalankan tanpa tahu risiko yang ada. Belakangan baru ia sadar banyak yang enggan jadi saksi PDI di lokasi tersebut karena ancaman fisik yang mereka terima.
Proses pencoblosan berjalan lancar. Tapi, terjadi kejutan pada hasil rekapitulasi pemilihan lantaran PDIP bisa mendapat 17 suara di TPS yang menjadi basis partai pendukung pemerintah itu.
Saat hendak pulang dan mengambil motor di parkiran, barulah Puspayoga mendapat serangan fisik dari sejumlah pria dewasa. Untungnya, Puspayoga mampu membela diri berbekal ilmu silat yang diwariskan ayahnya. Dia berhasil untuk terus berkelit sampai petugas keamanan melerai mereka.
Puspayoga hanya tertawa mendengar kisah lama itu. Baginya, tak ada yang istimewa dari peristiwa yang bisa saja mengancam nyawanya itu.
"Itu biasa, mas," katanya lalu tertawa.